Tuesday, December 22

Balasan ke atas pembunuh Hussein AS


Ditengah kerumunan Pesta pembakaran Kemah Karbala, Umar Bin Saad (LA) berteriak dengan lantang, "Siapa yang mau menjadi sukarelawan untuk menginjak-injak jasad Al-Husain dengan kaki kudanya ?"

Lalu segera sepuluh orang maju menyatakan kesediaan mereka. Mereka adalah:

1. Ishaq bin Haubah yang juga merampas baju Al-Husain.
2. Akhnas bin Mirtsad.
3. Hakim bin Thufail Al-Sabi'i
4. 'Amr bin Shabih Al-Shaidawi
5. Raja' bin Munqidz Al-'Abdi
6. Salim bin Khaitsamah Al-Ja'fi
7. Shaleh bin Wahb Al-Ja'fi
8. Wahidh bin Ghanim
9. Hani bin Tsubait Al-Hadhrami
10. Usaid bin Malik

Kesepuluh Manusia Durjana itu maju dan memijak-mijak jasad Al-Husain as. Dengan kaki kuda mereka hingga dada dan punggung Cucu Nabi Saww itu hancur.. (Ya Husseinna..…Ya Husseinna..…Ya Syahidda....)

Diselingi gelak tawa dan tanpa rasa takut mereka terus melakukan perbuatan kejinya..

Hingga ketika mereka sampai di Kuffah, kesepuluh manusia hina itu datang menghadap Ubaidillah bin Ziyad. Usaid bin Malik, salah seorang dari mereka, berkata:

"Kamilah yang menghancurkan dada dan punggungnya..Dengan kuda yang lincah dan bertali kekang kuat"

Kepada mereka Ibnu Ziyad bertanya, "Siapakah kalian?"

Dengan bangga mereka menjawab, "Kami adalah orang-orang yang menginjak-injak jasad Al-Husain dengan kuda kami. Kami telah berhasil melumatkan punggung dan dadanya."

Ubaidillah bin Ziyad sangat puas mendengar jawapan itu. Beliau lalu memerintahkan untuk memberi mereka sedikit hadiah.

Seorang Tabi'in Abu Umar Al-Zahid berkata, "Setelah kami meneliti, ternyata kesepuluh orang tersebut adalah anak hasil zina."

Manusia-manusia hina yang telah melakukan kekejian pada cucu yang dikasih Nabi al Husein As pun di akhir hayatnya diperlakukan secara sama oleh Mukhtar yang membalas dendam kepada mereka yang terlibat dalam membunuh Hussein, sehinggalah akhirnya Mukhtar berhasil menangkap mereka semua. Setelah mengikat mereka dengan rantai besi, ia memerintahkan pasukan berkudanya untuk menginjak-injak dan melumatkan punggung mereka. Mereka semua mati dengan cara demikian.

Atha' bin Abi Rabbah, seorang tabi'in juga berkata: Aku pernah bertemu dengan seorang buta yang ikut menyaksikan pembantaian terhadap Al-Husain as. Kepadanya aku bertanya perihal penyebab kebutaannya.

Dia menjawab, "Aku menyaksikan pembantaian itu dari dekat. Bahkan aku termasuk salah satu dari kesepuluh orang tersebut. Hanya saja aku tidak ikut terlibat dalam memukul atau melempar sesuatu kepada Al-Husain. Setelah beliau terbunuh, aku pulang ke rumahku, lalu melaksanakan salat Isya' dan kemudian tidur. Tiba-tiba aku melihat ada seorang yang datang kepadaku dan mengatakan, "Jawablah pertanyaan Rasulullah !"

Kukatakan, "Ada apa sehingga aku mesti pergi menemui beliau ?"

Tanpa menjawab, ia memegangku dengan kuat dan menyeretku. Aku melihat Nabi saww. duduk di padang sahara. Kegelisahan tampak jelas pada raut wajahnya. Beliau bertopang dagu pada kedua tangannya. Sebuah senjata kecil ada di tangan beliau. Di sebelah Rasulullah saww., kulihat ada seorang malaikat yang berdiri tegak dengan menghunus pedang yang terbuat dari api. Sembilan orang temanku telah lebih dahulu tewas di tangannya. Setiap ia memukulkan pedangnya, api segera tersembur darinya dan memanggang tubuh mereka.

Aku mendekat ke tempat beliau berada dan bersimpuh di hadapannya. Aku sapa beliau, "Assalamu 'alaika, ya Rasulullah." Tak kudengar jawaban beliau. Lama beliau berdiam diri. Kemudian sambil mengangkat wajahnya, beliau bersabda, "Hai musuh Allah, kau telah menginjak-injak kehormatanku, membantai keluargaku dan tidak mengindahkan hakku sama sekali. Bukankah demikian ?"

Jawabku, "Ya Rasulullah, demi Allah, aku tidak ikut andil dalam memukulkan pedang, menusukkan tombak atau melemparkan anak panah sama sekali."

"Benar," jawab beliau. "Tapi bukankah kau telah ikut dalam menambah jumlah mereka ? Mendekatlah kemari !"

Aku mendekat. Beliau menunjukkan kepadaku sebuah bejana yang dipenuhi darah seraya bersabda, "Ini adalah darah cucu kesayanganku Al-Husain."

Lalu beliau memoles mataku dengan darah itu. Ketika terjaga dari tidurku, mataku menjadi buta sampai sekarang."

Balasan Akhirat Lebih Pedih..!!


Diriwayatkan dari Imam Ja'far As Shadiq as dari Ayahnya dari kakek kakeknya yang suci dari Baginda Rasulillah Saww yang bersabda :

"Di hari kiamat kelak, Allah akan membangunkan sebuah kubah yang terbuat dari cahaya untuk Fatimah. Lalu Al-Husain akan datang dengan kepala di tangannya. Saat menyaksikan hal itu, Fatimah menjerit histeris hingga tak ada satupun malaikat maupun nabi kecuali ikut larut dalam tangisan menyertainya. Maka Allah menampakkannya di depan Fatimah dalam sebaik-baik rupa. Kemudian Al-Husain as. menyerang para pembunuhnya tanpa kepala. Setelah itu Allah menghadapkan kepadaku semua orang yang ikut andil dalam membantai dan mencincangnya untuk kubunuh semuanya. Lalu mereka dihidupkan kembali untuk dibunuh oleh Amirul Mukminin Ali. Setelah itu mereka dibangkitkan lagi. Kini giliran Al-Hasan membantai mereka. Mereka hidup lagi. Al-Husain membunuh mereka semua. Kemudian mereka dihidupkan lagi. Lalu satu persatu keturunanku membunuh mereka semua. Saat itulah, kemarahan dan dendam yang lama terpendam tersalurkan dan semua derita dapat dilupakan."

Kemudian Imam Ja'far Shadiq as. berkata, "Semoga Allah merahmati syiah kita. Demi Allah, mereka adalah orang-orang Mukmin sejati. Mereka ikut menyertai kita dalam musibah dengan kesedihan dan derita mereka yang berkepanjangan."

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Di hari kimat kelak, Fatimah datang diiringi oleh sekelompok wanita. Terdengar suara yang mempersilahkannya untuk masuk surga. Ia menolak dan berkata, "Aku tidak akan masuk sebelum tahu apa yang diperbuat umat terhadap anakku."

Terdengar suara, "Lihatlah ke tengah-tenah padang Mahsyar !" Fatimah as. melihat Al-Husain as. berdiri tegak tanpa kepala. Ia menjerit histeris menyaksikan keadaan anaknya. Akupun ikut menjerit mendengar jeritannya. Demikian juga para malaikat."

Dalam riwayat lain disebutkan: Fatimah meratap dan mengatakan, "Oh anakku! Oh buah hatiku!" Beliau meneruskan, Saat itulah Allah murka karena kemarahan Fatimah, lalu memerintahkan agar mereka semua dimasukkan ke dalam neraka yang disebut Habhab yang telah dinyalakan seribu tahun lamanya hingga berwarna hitam. Tak ada jalan bagi kesenangan untuk masuk ke dalamnya dan tak ada jalan bagi kesusahan untuk keluar darinya. Datang perintah dari Tuhan kepadanya, "Santaplah para pembunuh Al-Husain!" Neraka itupun segera melahap habis mereka. Setelah mereka berada di dalamnya, ia menggelegar diiringi oleh teriakan dan jeritan mereka.

Mereka lantas berseru, "Tuhan, mengapa Engkau menyiksa kami sebelum para penyembah berhala ?"

Datang jawaban dari Allah yang mengatakan, "Orang yang tahu tidak seperti orang yang tidak mengetahui."

Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Syaikh Ibnu Babuwaih dalam kitab 'Iqabu Al-A'mal

Wednesday, November 4

Around Uthman Murder

Whilst this article is primarily a refutation of Ansar’s article on Uthman, it shall also take the opportunity to address the common Nasibi accusations pertaining to the topic of the murder of Uthman. We shall refute such lies in by:

1. Refuting the baseless notion that a Jewish character namely Abdullah Ibn Saba and his followers were involved creating an atmosphere of agitation against Uthman that subsequently resulted in his murder.

2.Identifying those prominent Sahabah whose role in agitation against Uthman and then in his murder has been preserved in the annals of history.

Like his ancestors, the gist of Ansar.org’s author Abu Sulaiman is to absolve the Sahaba of any wrongdoing in the killing of Uthman. He has done his utmost to locate sources that protect the leading companions, for he knows too well that failure to do so, in effect raises serious questions on the Ahle Sunnah’s aqeedah on the justice of the Sahaba. Just like other Nasibi endeavors, this is yet another feeble attempt to protect specific corrupt companions and point the finger at other quarters in hope that he can convince his readers that the Shi’a are liars. Yet again Abu Sulaiman has used dishonesty, and yet again his lies shall be exposed.By the end of the article, readers will realise the ancestors of our opponents had themselves killed their caliph and yet up till today they insist he was an innocent oppressed victim. What is even more tragic is the fact that the murderers attributed the murder to an innocent party and unjustly waged war on them.

Chapter Two:

Refuting the defence card of Abdullah Ibn SabaThe role of some of the prominent Sahaba in the agitation and murder of Uthman has always acted as a thorn in the throats of our opponents that they neither could swallow nor spit. It acts as a wound, which has reappeared whenever our opponents have sought to apply a cure to it. Hence as a means of cure, they had to ‘invent’ some medication and after extensive sessions, they came up with a medicine known as ‘Abdullah Ibn Saba’ but since the ingredients of this medicine contained a large portion of fiction and lies, therefore the wound became further exposed. In order to save their future generations from the objections against those companions who led a prominent role in the murder of Uthman, the ancestors of our opponents invented the character Abdullah Ibn Saba and also fabricated various stories associating him with a campaign of incitement that led to the murder of Uthman. Having invented this mystery killer, they took the opportunity attribute this killing to their opponents [the Shi’a] by suggesting that their founding forefathers were Sabaies, the followers of Abdullah Ibn Saba. Some of the main points of such stories include the fact that: Abdullah Ibn Saba was a Jew who appeared during the reign of Uthman.



Ibn Saba misguided people by suggesting that Mawla Ali [as] was the successor of the Holy Prophet [s] and the preceding Caliphs usurped His [as] legal right. Ibn Saba started his activities in Kufa and Syria during the reign of Uthman. Later, he went to Egypt and prepared an army of rebels there. A great number of prominent Sahaba, like Ammar Yasir and Abu Dhar Ghafari went astray and became his students and they assisted the Sabaies in their activities against Uthman. The Sabaies that came from Egypt engulfed Madina and utlimately killed Uthman. During the wars of Jamal and Siffeen, both parties were close to agreeing a peace treaty but the Sabaies attacked both sides during the darkness of the night that caused the beginning of the war etc.In this chapter, we shall analyse the narrations and shall highlight the flaws that our opponents ancestors failed to consider whilst fabricating such stories. We shall also identify the personalities involved in this fabrication.

Sayf Ibn Umar – The fabricator of the storyIf one analyses the chains of narrations of all these fairy tales, you will notice that one name Sayf Ibn Umar is at the centre of such stories, whilst there are some narrations in this regard that don't even have any chains of narration. There are also some narrations about Abdullah Ibn Saba which are not transmitted through Sayf Ibn Umar, but these narrations do not mention the involvement of ‘Sabaies’ in the murder of Uthman rather they are only cite the existence of one such person and this is totally different from the fairy tale painted by Sayf Ibn Umar. There is an ijma (unanimous opinion) amongst the Ahle-Sunnah that the narrator Sayf Ibn Umar was a cursed person who narrated all types of lies. They have written all types of negative remarks about him that include Zandiq, Kadhab (liar) and untrustworthy and his traditions have no value and they all are weak. For example Imam of Salafies Al-Albaani declared him a liar (Silsila Sahiha, v3 p184) so did Mahmood Abu Raya (Adhwa ala alsunnah, p139).


Imam Ibn Abi Hatim (Al-Jarh wa al-Tadil, v4 p278), Imam al-Haythami (Majm'a al-Zawaed, v8, p98) and Shaykh Shu'aib al-Arnaout (Margin of Siar alam alnubala, v3 p27) declared him Matruk while Yahya Mukhtar al-Ghazawi said: ‘There is an agreement on him being Matruk’ (Foot note of Abdullah bin Uday’s book al-Kamil, v3 p435). Those who declared him weakare Imam Ibn Hajar (Taqrib al-Tahdib, v1 p408), Imam Yahya ibn Mueen (Tarikh Ibn Mueen, v1 p336), Imam Al-Nesai (Al-Du'afa, p187) and Al-Aqili (Al-Du'afa by Aqili, v2 p175) while he has been decalred as ‘Very weak’ by Al-Salehi al-Shami (Subul al-Huda wa al-Rashad, v11 p143).



Allamah Abu Naeem al-Asbahani said: ‘He is nothing’ (Al-Du'afa, by Abu Naeem, p91) and so did Imam Abu Daud (Sualat al-ajeri, v1 p214). Imam Ibn al-Jawzi said: ‘He is accused of fabricating hadith’ (Al-Mudu'at, by ibn al-Jawzi, v1 p222). Allamah Sibt Ibn al-Ejmi said: ‘He used to fabricate hadith’ (Al-Kashf al-Hathith, p131). Abdullah bin Uday said: ‘His narration is munkar’(Mezan al-Etidal, v2 p255). Al-Hakim said: ‘Sayf is accused of being a heretic. His narrations are abandoned.’ (Tarikh al-islam, v11 p161). Hassan bin Farhan al-Maliki said: ‘Fabricator’ (Naho Enqad al-Tarikh, p34). Al-Dhahabi says about him: "Sayf Ibn Umar wrote two books, which have been unanimously rejected by scholars”. (Al-Mughani fil Dhufa, page 292).It is interesting that although the Ulema of Ahle Sunnah rejected this narrator and his two books that contained all sorts of stories regarding the role of Sabiees (or Shias) in the agitation and murder of Uthman, the Ulema of Ahle Sunnah have taken some stories from it and have included it in their books with then intention that they may act as a veil over the roles of certain prominent Sahabah that acted in the murder of Uthman.

The murder of the Sahaba Malik bin Nuwayrah followed by the raping of his wife by Khalid bin WalidThose who have some interest in Islamic history would be aware of the shocking incident that took place during the reign of Abu Bakr, wherein Khalid bin Walid murdered a companion Malik bin Nuwayrah and then that very night, raped Malik’s wife. One of the chains of narrations that mention this incident includes Sayf Ibn Umar and when this incident is quoted, the Nawasib abruptly scream and begin to unfold the weaknesses of Sayf Ibn Umar as a narrator. Curiously when it comes to the topic of Sabaies or Shias, the very narrator becomes the darling of deceitful Nawasib. But we should point out the the atrocities committed by the thug namely Khalid bin Walid can still be proven from narrations free of Sayf!

The traditions free of Sayf Ibn UmarAs we stated earlier, there are approximately 14 narrations wherein the name of Abdullah Ibn Saba appears, yet these traditions are narrated independent of Sayf Ibn Umar al-Kadhab. But our readers need to understand that these traditions are entirely different from the fairy tales reported by Sayf Ibn Umar as they do not mention any role of Sabaies or of Shias in the assassination of Uthman, rather they only tell us that there existed a person with the name of Abdullah Ibn Saba who appeared during the reign of Ali bin Abi Talib [as] i.e. years after the murder of Uthman, he claimed that Ali bin Abi Talib [as] was god (naudobillah) and because of this Mawla Ali [as] burnt him alive.Among the Ahle-Sunnah historians, there was only one, namely Ibn Asakir who collected some reports about Ibn Saba whilst their chains of narrations do not include Sayf Ibn Umar.
It isimportant to note that this historian belongs to 6th century whilst Abdullah Ibn Saba appeared in the earlier part of the 1st century. We appeal to just people to consider the fact that if there was indeed a man as prominent as Abdullah Ibn Saba who: commanded the loyalty of thousands of followers, has prominent Sahaba amongst his followerslead a mass movement against the caliph of the time Uthman that subsequently resulted in his assassination later on killed of thousands of Muslims during wars of Jamal and SiffeenWould there be only one historian and that too of 6th century to have written the details about him? From the 1st century until the 5th century, there existed thousands of Sunni Muhadditheen such as Bukhari and Muslim, Fuqaha such as Abu Hanifa and Imam Malik, Ulama and historians. Why is it that thet none of them wrote a SINGLE word about Abdullah Ibn Saba?


Why were Abu Hanifa, Imam Malik, Imam Shafiyee and Ahmad bin Hanbal and hundreds of more like them were unaware of the existence of thousands of Sabaies, their dissension in Syria, Kufa and Egypt and their role in the murder of Uthman? Why didn't they written even a SINGLE word about them? Ths Sunni / Shia schism had developed into distinct schools very quickly. The Sunni state was seeking its utmost to propogate the Sunni madhab amongst the masses, and encouraged hatred towards the Shi’a. By this time the doctrine of the three rightly guided khalifas had been engrained ito Sunni deaology and was a part of faith, so that those that rejected them were deemed rafidah (rejectors). What better opportunity would there have been than to propogate amongst the masses the belief that the Shi’a madhab was founded by a Jew called Ibn Saba whose lies and Fitnah they embraced, that lead to them killing the third rightly guided khalifa.

Would the Sunni state have allowed such an opportunity go by, if this was indeed true? If we know anything about politics we know how dirty it is, with politicians inciting smear campaigns against their political rivals, on whatever flimy evidence they can find. Could there be any better smear campaign than one that attributed the orgins of a major Sect that rejected the doctrine of man made Caliphate, to a Fitnah mongering Jew? If such evidence existed, even in its weakest manner the State would have ensured that its Imams and historians cascaded such teachings to the masses. The very fact that they did not proves that this fairytale was not prominent in any shape or form during the fitsy five centuries of Sunni state rule.

It is worthy to note that the reports that were collected by this 6th century historian Ibn Asakir also do not prove the propaganda of our opponents, suggesting that the Sabaies/Shias killed Uthman and they cannot establish the building of whole fairy tale on the foundation of these reports. In order to read all these traditions recorded by Ibn Asakir that are free from Sayf Ibn Umar, one can read his book Tarikh Madinatul Damishq, Volume 29, pages 3-10. Please also note that Ibn Asakir has also quoted heavily the fairy tales from Sayf Ibn Umar. Ibn Hajar Asqalani has quoted these traditions by Ibn Asakir in his book Lisan-ul-Mizan, vol. 3, page 239, along with his comments.

Sunday, November 1

Siapakah gerangan Khulafa yang sebenar?


Di dalam meneliti hadith "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin .." dan hadis ".. Kitab Allah dan sunahku.. " dengan muktamad, ia tidak bermakna bahawa mereka itulah yang tergolong di dalam golongan yang satu-satunya benar seperti mana dakwaan Ahl Sunnah. Hakikat yang mereka tidak pernah sedari, hadith itu adalah mejelaskan dan menyokong tentang mazhab Ahl Bait. Hadis pertama yang berbunyi, "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin al-mahdiyyin sepeninggalku."

 

Khalifah dan Imam Ahlul Bait

Perkataan "khulafa" di dalam hadis ini tidaklah dikhususkan untuk satu golongan tertentu, dan penafsiran kalangan Ahl Sunnah bahwa para khalifah itu adalah para khalifah yang empat ( Abu Bakar. Umar, Uthman dan Ali as) adalah satu penakwilan yang tanpa sebarang nas atau dalil yang kukuh. Ini kerana, maksud  yang dikemukakan lebih luas dari dakwaan, bahkan bukti-bukti telah mengatakan sebaliknya. Iaitu yang dimaksudkan dengan para khulafa rasyidin ialah para Imam 12 dari Ahlul Bait as. Hal ini jelas berdasarkan riwayat-riwayat yang terdapat di dalam hadith mengenai seramai 12 orang pemimpin dari bangsa Quraish yang akan menggantikan Rasulullah SAWAA. Bukhari sendiri meriwayatkan hadith ini di dalam Sahihnya itu.


Al-Qanduzi al-Hanafi telah meriwayatkan di dalam kitabnya Yanabi' al-Mawaddah, "Yahya bin Hasan telah menyebutkan di dalam kitab al-'Umdah melalui dua puluh jalan bahwa para khalifah sepeninggal Rasulullah SAWA itu berjumlah dua belas orang khalifah, dan seluruhnya dari bangsa Quraisy. Dan begitu juga di dalam Sahih Bukhari melalui tiga jalan periwayatan, di dalam Sahih Muslim melalui sembilan jalan periwayatan, di dalam Sunan Abu Dawud melalui tiga periwayatan, di dalam Sunan Turmudzi melalui satu jalan periwayatan, dan di dalam al-Hamidi melalui tiga jalan periwayatan. Di dalam Sahih Bukhari berasal dari Jabir yang mengatakan, "Rasulullah SAWA telah bersabda, 'Akan muncul sepeninggalku dua belas orang amir', kemudian Rasulullah SAWA mengatakan sesuatu yang saya tidak mendengarnya. Lalu saya menanyakannya kepada ayah saya, 'Apa yang telah dikatakannya?' Ayah saya menjawab, 'Semuanya dari bangsa Quraisy.'"


Adapun di dalam Sahih Muslim berasal dari 'Amir bin Sa'ad yang berkata, "Saya menulis surat kepada Ibnu Samrah, 'Beritahukan kepada saya sesuatu yang telah anda dengar dari Rasulullah SAWA.' Lalu Ibnu Samrah menulis kepada saya, 'Saya mendengar Rasulullah SAWA bersabda pada hari Jumaat pada ketika peristiwa perejaman  ke atas al-Aslami, 'Agama ini akan tetap tegak berdiri hingga datangnya hari kiamat dan munculnya dua belas orang khalifah yang kesemuanya berasal dari bangsa Quraisy." [1] Timbul persoalan di sini, adakah kesemua pengganti Rasulullah itu berasal dari Quraisy seperti Muawiyah, Yazid, Makmun dan yang lain? Jika tidak, ini bermakna jelas mereka itu bukanlah seperti mana yang dinyatakan oleh Baginda SAWA sebagai penegak agama yang sebenar.


Maka hujah dengan hadis "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin.." dengan mengaitkannya kepada para khalifah yang empat adalah menyimpang sama sekali.Kesemua riwayat yang mutawatir yang mencapai dua puluh jalan periwayatan, yang kesemuanya dengan jelas mengatakan khalifah itu ada dua belas orang; dan kita tidak akan menemukan penafsiran bagi riwayat-riwayat ini pada dunia nyata kecuali pada para Imam mazhab Ahlul Bait AS yang dua belas.


Dan Syi'ah adalah satu-satunya kelompok yang merupakan personifikasi dari makna hadis-hadis ini, dikarenakan penerimaan mereka kepada kepemimpinan Imam Ali as, kemudian Imam Hasan dan Imam Husain, dan setelah itu sembilan orang Imam dari keturunan Imam Husain, sehingga jumlah mereka seluruhnya berjumlah dua belas orang Imam. Jika Ahl Sunnah ingin menyusun para Khulafa’ mereka, siapakah yang benar-benar layak untuk mereka pilih untuk dikatogerikan di dalam baki Khulafa’ seramai lapan orang lagi? Mungkin Umar Abd Aziz boleh termasuk disebabkan keadilannya lalu di mana pula yang lain?

 

Perkataan "Quraisy" yang terdapat di dalam riwayat-riwayat ini adalah bersifat mutlak dan tidak dibatasi, namun dengan riwayat-riwayat dan petunjuk-petunjuk yang lain menjadi jelas bahwa yang dimaksud adalah Ahlul Bait. Dan itu disebabkan adanya banyak riwayat yang menunjukkan kepada kepemimpinan Ahlul Bait.


Pada kesempatan ini cukuplah dengan riwayat yang berbunyi, "Aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku, yaitu Kitab Allah dan 'ltrah Ahlul Baitku."[2] Agama ini akan tetap tegak berdiri dengan kepemimpinan dua belas orang khalifah, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh riwayat-riwayat sebelumnya. Pada saat yang sama terdapat riwayat-riwayat yang menekankan keseiringan Ahlul Bait dengan Kitab Allah. Ini merupakan sebaik-baiknya dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan "dua belas orang khalifah" itu adalah para Imam dari kalangan Ahlul Bait.


Adapun ungkapan "semuanya berasal dari Quraisy" itu tidak lain merupakan pemalsuan di dalam hadis. Ungkapan ini mereka letakkan supaya petunjuk yang jelas akan wajibnya mengikuti Ahlul Bait menjadi kabur. Karena sesungguhnya ungkapan yang benar ialah "semuanya berasal dari Bani Hasyim", namun tangan-tangan jahat senantiasa mencari keutamaan-keutamaan Ahlul Bait, untuk kemudian mereka sembunyikan semampu mereka, atau mengganti dan merubah sesuatu dari mereka yang dapat diselewengkan. [3]


Riwayat ini merupakan salah satu ‘mangsa’ daripada penyelewengan. Namun, Allah SWT menampakkan cahaya-Nya. Al-Qanduzi al-Hanafi sendiri telah menukilnya di dalam kitabnya Yanabi' al-Mawaddah. Pada mawaddah kesepuluh dari kitab Mawaddah al-Qurba, bagi Sayyid Ali al-Hamadani - semoga Allah SWT mensucikan jalannya dan mencurahkan keberkahannya kepada kita - disebut-kan, "Dari Abdul Malik bin 'Umair, dari Jabir bin Samrah yang ber-kata, 'Saya pernah bersama ayah saya berada di sisi Rasulullah SAWA, dan ketika itu Rasulullah SAWA bersabda, 'Sepeninggalku akan ada dua belas orang khalifah.' Kemudian Rasulullah SAWA menyamarkan suaranya. Lalu saya bertanya kepada ayah saya, 'Perkataan apa yang disamarkan olehnya?' Ayah saya menjawab, 'Rasulullah SAWA berkata, 'Semua berasal dari Bani Hasyim." [4]


Bahkan Al-Qanduzi meriwayatkan banyak hadis lain yang lebih jelas dari hadis-hadis di atas. Al-Qanduzi telah meriwayat dari 'Abayah bin Rab'i, dari Jabir yang mengatakan, "Rasulullah SAWA telah bersabda, 'Saya adalah penghulu para nabi dan Ali adalah penghulu para washi, dan sesungguhnya para washi sepeninggalku berjumlah dua belas orang. Yang pertama dari mereka adalah Ali, dan yang terakhir dari mereka adalah al-Qa'im al-Mahdi."' [5]


Setelah menyebutkan hadis-hadis ini, Al-Qanduzi al-Hanafi tidak menemukan apa-apa selain harus mengakui dan mengatakan, "Sesungguhnya hadis-hadis yang menunjukkan bahwa para khalifah sesudah Rasulullah SAWA sebanyak dua belas orang khalifah, telah banyak dikenal dari banyak jalan periwayatan , dan dengan penjelasan zaman dan pengenalan alam dan tempat dapat diketahui bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah SAWA dari hadis ini ialah para Imam dua belas dari Ahlul Bait Rasulullah SAWA. Karena tidak mungkin kita dapat mengaitkannya pada penguasa Bani Umayyah, dikarenakan jumlah mereka yang lebih dari dua belas orang dan dikarenakan kezaliman mereka yang amat keji, kecuali Umar bin Abdul Aziz, dan dikarenakan mereka bukan dari Bani Hasyim.


Sabda Rasulullah SAWA, 'Seluruhnya dari Bani Hasyim', di dalam riwayat Abdul Malik, dari Jabir. Dan begitu juga penyamaran suara yang dilakukan oleh Rasulullah SAWA di dalam perkataan ini, memperkuat riwayat ini. Dikarenakan mereka tidak menyambut baik kekhilafahan Bani Hasyim. Kita juga tidak sesuai jika mereka adalah penguasa raja-raja Bani 'Abbas, disebabkan jumlah mereka yang lebih banyak dibandingkan jumlah yang disebutkan, dan juga dikarenakan mereka kurang menjaga ayat "Katakanlah, 'Aku tidak meminta upah apapun kepadamu atas risalah yang aku sampaikan kecuali kecintaan kepada keluargaku'" dan hadis Kisa`.


Realitinya hadis ini adalah ditujukan kepada para Imam dua belas dari Ahlul Bait Rasulullah SAWA. Karena mereka adalah manusia yang paling berilmu pada jamannya, paling mulia, paling warak, paling bertakwa, paling tinggi dari sisi nasab, paling utama dari sisi kedudukan dan paling mulia di sisi Allah SWT. Ilmu mereka berasal dari bapa-bapa mereka, dan terus bersambung kepada datuk mereka Rasulullah SAWA.[6] Maka maksud hadis "Kamu harus berpegang teguh pada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin yang mendapat petunjuk sepeninggalku" adalah kepada para Imam Ahlul Bait jauh lebih dekat dibandingkan mengaitkannya kepada para khalifah yang empat. Karena sudah jelas bahwa para khalifah sepeninggal Rasulullah SAWA itu berjumlah dua belas orang khalifah, yang kesemuanya berasal dari Bani Hasyim.

 

Ahlul Bait, jalan untuk berpegang kepada al-Kitab dan Sunnah.

Adapun hadis "Aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya sepeninggalku, yaitu Kitab Allah dan sunahku" tidak bertentangan dengan hadis "Kitab Allah dan 'ltrah Ahlul Baitku". Dua perkara baru boleh dikatakan ta'arud (bertentangan) manakala pertentangan yang terjadi di antara keduanya sedemikian rupa sehingga mustahil untuk dapat dipertemukan. Padahal kedua hadis di atas dapat diper-temukan dan sama sekali tidak ada pertentangan di antara keduanya. Ibnu Hajar al-Juhdhi telah menyakinkan kita tentang mungkinnya menggabungkan kedua hadis di atas.


Dia menyebutkan di dalam kitab ash-Shawa'iq-nya, "Rasulullah SAWA bersabda di dalam hadisnya, 'Sesungguhnya aku meninggalkan padamu dua perkara yang jika kamu mengikuti keduanya niscaya kamu tidak akan tersesat. Yaitu Kitab Allah dan Ahlul Baitku. Thabrani menambahkan tentang Ahlul Bait, “Janganlah kamu mendahului mereka nanti kamu binasa, janganlah kamu tertinggal dari mereka nanti kamu celaka, dan janganlah kamu mengajari mereka karena sesungguhnya mereka lebih tahu dari kamu.” Pada sebuah riwayat disebutkan bahwa 'Kitab Allah dan sunahku' merupakan maksud dari hadis-hadis yang hanya dibatasi pada Kitab Allah, karena sunnah merupakan penjelas bagi Kitab Allah, sehingga penyebutan Kitab Allah saja sudah mencukupi. Dan hakikatnya adalah, hadith itu menyuruh kepada berpegang teguh kepada Kitab Allah, sunah-sunnah dan manusia-manusia yang mengetahui keduanya hanyalah dari kalangan Ahlul Bait. Dari keterangan hadis-hadis di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ketiga perkara tersebut akan tetap ada hingga hari kiamat." [7]


Dengan ungkapan yang lebih teliti, sesungguhnya apa yang dikatakan oleh Ibnu Hajar tersebut ingin mengatakan bahwa peritah berpegang teguh kepada sunah tidak dapat dilakukan kecuali melalui jalan para pemeliharanya, yaitu Ahlul Bait. Karena Ahlul Bait pasti lebih tahu dengan apa yang ada di dalam rumah. Sebagaimana yang telah ditetapkan oleh riwayat-riwayat dan telah disaksikan oleh sejarah. Sehingga dengan demikian, sesungguhnya anjuran yang berasal dari Rasulullah SAWA telah jatuh pada berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Ahlul Bait; dan berpegang teguh kepada sunah sudah merupakan kewajiban dari berpegang teguh kepada Ahlul Bait.•

 

Footenote :

 

[1]. Yanabi’ al-Mawaddah, al-Qanduzi al-Hanafi, hal. 104, terbitan Yayasan a; A’lami, Beirut-Lebanon.

 [2].   Sesungguhnya Ali as adalah Imam pertama dari para Imam Duabelas. Disini, yang menjadi pembahasan penulis ialah siapakah yang dimaksud dengan dua belas orang khalifah itu.  Apakah khalifah yang empat atau Imam Ahlul Bait yang duabelas.

[3].    Silahkan rujuk bab penyelewengan yang dilakukan oleh para muhaddis terhadap hadis.

[4].    Yanabi’ al-Mawaddah, al-Qanduzi al-Hanafi, hal. 104.

[5].    Ibid, hal. 105.

[6].    Ibid, hal. 106.

[7].    Ash-Shawa’iq al-Muhriqah, hal. 150.

 

 

Saturday, September 12

The Secret of Imam Ali's Force of Attraction


What is the reason for the friendship and love for Ali in people's hearts? Nobody has yet discovered the secret of this love. That is, no one has been able to formulate it, and say that if it were like this then that would follow, or if it were like that then this would happen. However it does of course have a secret. There is something in the love which dazzles the one who loves and draws him towards it. This attraction and love are the highest degrees of love; Ali is the one whom people's hearts adore, whom humanity loves. Why? In what does Ali's extraordinariness lie, that it incites love and draws hearts towards itself, that it plays the tune of eternal life and lives for ever? Why do all hearts find out about themselves through him, and do not feel him to be dead but find him living?

Certainly the basis for love for him is not his body, because his body is not now among us and we have not perceived it with our senses. Love for Ali is also not hero-worship, which exists in every nation. It is a mistake, too, to say the love for Ali is by way of love for moral and human excellence, and that love for Ali is a humanistic love. It is true that Ali was the manifestation of the perfect man, and it is true that man loves great figures of humanity; but if Ali had had all those human excellences that he had - that wisdom and knowledge, that self-sacrifice and altruism, that humility and modesty, that courtesy, that kindness and mercy, that protection of the weak, that justness, that liberality and love of freedom, that respect for humanity, that generosity, that bravery, that magnanimity and mercy towards his enemies, and, in the words of Rumi:

In bravery you are the Lion of the Lord,

In generosity who indeed knows who you are? [1]

that munificence, benevolence and beneficence - if Ali had had all these, which he did have, but had not had the divine touch in him, it is quite certain that there would not have been the feeling of sympathy and awakening of love that there is today.

Ali is loved in the sense that he had the divine link; our hearts are unconsciously completely involved with, and connected to, the Truth, right in their depths, and since they find Ali to be a great sign of the Truth and a manifestation of the attributes of the Truth they are in love with him. In reality, the basis for the love for Ali is the connection of our souls with the Truth which has been laid in our primordial natures, and since our primordial natures are eternal, love for Ali is also eternal.

There are many outstanding features in Ali's being, but that which has assigned him a resplendent and shining place for ever is his faith and morality, and it is that which has given him his divine charisma.

Sawdah al-Hamdaniyah, a self-sacrificing and devoted follower of Ali, extolled Ali in front of Mu'awiyah and among other things said this verse:

May the blessing of God be vouched to him

Whom the grave took away and with whom justice was interred.

He had a pact with God that he should put no substitute in His place,

Thus he was joined with Truth and Faith.

Sa'sa'ah ibn Suhan al-'Abdi was another one of those lovers of Ali. He was one of those who took part on that night with a few others in the burial of Ali. After they had buried Ali and covered his corpse with soil, Sa'sa'ah put one of his hands over his heart, threw earth over his head and said:

"May death be agreeable to you, whose birth was pure, whose patience was firm, whose holy struggle was great! You attained your aim and your commerce was fruitful.

"You fell down before your Creator, and He gladly accepted you and His angels appeared around you. You were placed near the Prophet, and God gave you a place near him. You reached the degree of your brother, Mustafa, and you drank from his overflowing cup.

"I beseach God that I may follow you and that I may act according to your ways; that I may love those who love you, and be the enemy of those who are your enemy, that I may be gathered in the pavilion of your friends.

"You saw what others did not see, and reached what others did not reach; you pursued the holy struggle beside your brother, the Prophet, and you rose up for the religion of God as was worthy of it, till age-old habits were done away with, confusion curbed and Islam and the faith put in order. May the best of blessings be upon you!

"Through you the backs of the believers were made firm, the ways made clear and habits broken. No-one could amass your virtues and excellences in himself. You answered the call of the Prophet; you jumped ahead of others in accepting him: you hurried to help him, and protected him with your life. You struck with your sword, Dhu' l-fiqar, in places of fear and savagery, and you broke the back of oppression. You caste down the structures of polytheism and vileness, and you pulled down those who were astray into dust and blood. So may you be well pleased, O Amir al-mu'minin !

"You were the closest of men to the Prophet, you were the first person to follow Islam. You were overflowing with certainty, strong of heart and more self-sacrificing than any, your share in good was greater. May God not deprive us of retribution for your suffering, and may He not despise us after you have gone!

"By God, I swear that your life was the key to good, the lock against exil; and your death is the key to every evil and the lock against every good. If the people had accepted you, blessings would have showered on them from the heaven and the earth; but they preferred this world to the next." [46]

Truly they preferred this world, and as a-consequence they could not endure the justice and unwaveringness of Ali. In the end the hand of stiffness and stagnation came out of the sleeve of the people and martyred Ali.

Ali - may peace be upon him - is without equal in having totally selfless friends and people who loved him, who have given their lives in the path of friendship and love for him. Their wonderful, absorbing and stunning biographies honour the pages of Islamic history. The criminal hands of such despicable people as Ziyad ibn Abih and his son `Abdullah, as Hajjaj ibn Yusuf and Mutawakkil, and at the head of them all Mu'awiyah ibn Abi Sufyan, are stained with the blood of these human lives up to their elbows.

References

(1). Rumi, Mathnavi, bk.l (translated by Nicholson).

(2). Biharu Anwar, vo1.42, pp.295 -296 (new ed.)

Sunday, August 23

Yazid bin Muawiya Remembered in Makkah


On 11th May 2007, in his Friday sermon from the holy city of Makkah, a few feet from the door of the Ka'bah, where the consciousness of the presence of Allah should be felt at heart, the leader of the congregation emphasised the need for being bound by an allegiance to an "Imam" (a ruler) even if he is vicious. He claimed that the Prophet has said, whoever dies without being bound by an allegiance to an "Imam" (a ruler), dies the death of ignorance. On 11th May 2007, in his Friday sermon from the holy city of Makkah, a few feet from the door of the Ka'bah, where the consciousness of the presence of Allah should be felt at heart, the leader of the congregation emphasised the need for being bound by an allegiance to an "Imam" (a ruler) even if he is vicious. He claimed that the Prophet has said, whoever dies without being bound by an allegiance to an "Imam" (a ruler), dies the death of ignorance. 

Even if the "Imam" is unjust and tyrannical, the believers must obey him as Ibn Taymiyyah (the guru of the Wahhabis) has required. He said, they can advise the "Imam" and guide him!!! 

Quoting Abdullah ibn Umar's hadiths in Sahih Muslim, he said that when people wanted to rise against Yazid ibn Mu'awiyah, he stopped them because the Prophet had prohibited breaking the pledge given to an "Imam". When a companion wanted to rise against Yazid ibn Mu'awiyah, in the incidence of Hurra, Abdullah ibn Umar warned him that pledges are not given to be broken and that he had heard the Prophet saying that if anyone dies without being bound by an allegiance, dies the death of ignorance.

Hence, according to the Wahhabite rationale, allegiance to Yazid was a requirement of the Shari'ah! The leader of the congregation did not explain, what would be the position of those who broke the allegiance given in Ghadir? He did not explain why didn't Abdullah ibn Umar remember these alleged hadiths of the Prophet when he himself did not pay oath of allegiance to Imam Ali ibn Abi Talib, but felt the need to pay allegiance to a corrupt, irreligious and fasiq ruler like Yazid, who was imposed on the Muslims by his father. He did not explain what about the widely narrated mutawatir hadith of the Prophet which says "there is no obedience to the creatures in disobedience to Allah"? He did not explain that in the incidence of Hurra many Companions of the Prophet in Madina were slaughtered and thousands of their virgin daughters were rapped by the troopers of Yazid. To remain indifferent to a massacre of such a magnitude was like writing off the religious values that the Messenger of Allah (SAWW) had brought. But this is precisely the leader of the congregation was advising the worshippers.

Saturday, August 1

Sahabat Nabi Yang Membunuh Ammar bin Yasir RA

Bukankah mencela sahabat Nabi SAW itu tidak dibolehkan?. Benar, tidak hanya sahabat Nabi tetapi mencela sesama Muslim itu tidak dibolehkan. Apalagi membunuh, tentu tidak boleh lagi. Kenyataan pahit dalam sejarah Islam adalah para generasi awal umat ini yaitu para Sahabat ternyata mengalami perselisihan sampai ke taraf memerangi dan membunuh. Sangat tidak mungkin kalau sejarah seperti ini mau ditutup-tutupi atau dinyatakan seolah tidak ada apa-apa.


Sebagian pihak tidak senang kalau sejarah seperti ini dibicarakan karena tidak ada gunanya membicarakan perselisihan para Sahabat. Mereka menganggap bahwa semua sahabat diridhai Allah SWT, semua sahabat tidak layak untuk dikritik atau dinyatakan salah karena itu berarti sudah mencela sahabat Nabi dan hal ini jelas diharamkan menurut mereka. Jika sahabat melakukan kesalahan maka itu berarti sahabat berijtihad dan sebagaimana ijtihad jika benar dapat dua pahala dan jika salah satu pahala. Intinya pihak tersebut akan selalu memuliakan sahabat walau bagaimanapun perilakunya. Sehingga jika orang sudah dicap sahabat maka semua perilakunya berpahala. Duhai alangkah anehnya, apakah jika sahabat menghina Ahlul Bait, meminum khamar, dan murtad maka itu dikatakan ijtihad?. Alangkah kacaunya orang yang mengatakan bahwa tindakan seperti itu berpahala hanya karena yang melakukannya adalah seorang Sahabat Nabi. Silakan renungkan..


Kali ini kami akan mengajak para pembaca untuk kembali ke peristiwa bersejarah yaitu Perang Shiffin. Pada perang ini Imam Ali AS dan sahabat yang mengikuti Beliau berperang dengan Muawiyah dan sahabat yang mengikutinya. Di antara sahabat Nabi yang setia pada Imam Ali adalah Ammar bin Yasir RA. Beliau adalah Sahabat yang mulia dimana Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa Ammar akan dibunuh oleh kelompok pembangkang. Sejarah membuktikan bahwa Ammar RA syahid dalam perang Shiffin. Hal ini sudah cukup untuk membuktikan bahwa dalam Perang Shiffin Imam Ali berada dalam kebenaran dan Muawiyah serta pengikutnya merupakan kelompok pembangkang. Kematian Ammar RA mengundang kecemasan di kalangan pengikut Muawiyah sehingga untuk menenangkan pengikutnya Muawiyah memberikan ta’wilan yang batil bahwa Yang membunuh Ammar RA adalah orang yang membawanya ikut berperang. Dengan perkataan itu Muawiyah ingin melemparkan kesalahan kepada Imam Ali AS, sungguh perilaku yang bisa dibilang tidak terpuji.


Riwayat ini salah satunya disebutkan dalam Musnad Ahmad 2/161 no 6499:


حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو معاوية ثنا الأعمش عن عبد الرحمن بن زياد عن عبد الله بن الحرث قال اني لأسير مع معاوية في منصرفه من صفين بينه وبين عمرو بن العاص قال فقال عبد الله بن عمرو بن العاصي يا أبت ما سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول لعمار ويحك يا بن سمية تقتلك الفئة الباغية قال فقال عمرو لمعاوية ألا تسمع ما يقول هذا فقال معاوية لا تزال تأتينا بهنة أنحن قتلناه إنما قتله الذين جاؤوا به

“Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Muawiyah yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Amasy dari Abdurrahman bin Ziyad dari Abdullah bin Harits yang berkata “Aku berjalan bersama Muawiyah sepulang dari Shiffin dan juga bersama Amru bin Ash. Abdullah bin Amru bin Ash berkata “wahai ayah tidakkah kau mendengar Rasulullah SAW berkata kepada Ammar “Kasihan engkau Ibnu Sumayyah, engkau akan dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Amru berkata kepada Muawiyah “Tidakkah engkau dengar perkataannya”. Muawiyah berkata “Ia selalu bermasalah bagi kita, apakah kita yang membunuh Ammar?.Sesungguhnya yang membunuhnya adalah orang yang membawanya”. 


Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Syarh Musnad Ahmad tahqiqnya berkata tentang hadis ini “sanadnya shahih” . Begitu pula Syaikh Ahmad Syakir dalam Syarh Musnad Ahmad tahqiq Beliau juga menyatakan hadis ini shahih. Siapa sebenarnya orang dalam kelompok Muawiyah yang membunuh Ammar bin Yasir RA?. Para ulama telah menyebutkan bahwa orang yang membunuh Ammar bin Yasir adalah Abu Ghadiyah Al Juhani dan tahukah anda siapa dia?. Para ulama menyebutnya sebagai Sahabat Nabi SAW.

Ibnu Hajar dalam Al Ishabah 7/311 no 10365 memuat biografi Abu Ghadiyah Al Juhani dan menyebutkan:


وقال الدوري عن بن معين أبو الغادية الجهني قاتل عمار له صحبة

Ad Dawri berkata dari Ibnu Ma’in “Abu Ghadiyah Al Juhani orang yang membunuh Ammar dan dia seorang Sahabat Nabi”.

Al Bukhari berkata dalam Tarikh Al Kabir juz 8 no 3557:


أبو غادية الجهني سمع النبي صلى الله عليه وسلم
Abu Ghadiyah Al Juhani mendengar langsung dari Nabi SAW.


Ibnu Abdil Barr dalam Al Isti’ab 4/1725 dan Ibnu Atsir dalam Usud Al Ghabah 5/534 juga mengatakan bahwa Abu Ghadiyah seorang sahabat Nabi yang membunuh Ammar bin Yasir RA. Adz Dzahabi dalam Tarikh Al Islam 4/135 menyebutkan biografi Abu Ghadiyah Al Juhani dan menyebutkan:


وقال الدار قطني وغيره هو قاتل عمار بن ياسر يوم صفين

Daruquthni dan yang lainnya berkata “Dia adalah orang yang membunuh Ammar bin Yasir pada perang Shiffin”.


Tahukah anda pahala apa yang akan didapat oleh orang yang membunuh Ammar?. Rasulullah SAW pernah bersabda:


قاتل عمار و سالبه في النار

“Yang membunuh Ammar dan menjarah( harta)nya akan masuk neraka”


Hadis ini telah dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ahadits As Shahihah no 2008 dan Shahih Jami’ As Shaghir no 4294. Jika memang para Ulama menyebut Abu Ghadiyah sebagai Sahabat Nabi SAW yang membunuh Ammar bin Yasir RA maka tidak salah untuk dikatakan bahwa perbuatan Abu Ghadiyah itu telah mengantarkannya ke neraka.



Sahabat Nabi Yang Dikatakan Berzina

Pada zaman pemerintahan Umar bin Khattab terdapat suatu peristiwa dimana seorang Sahabat Nabi telah dikatakan oleh beberapa orang sahabat lain bahwa dia telah berzina. Pada mulanya ada 4 orang saksi yang menyaksikan tetapi satu orang saksi ternyata tidak yakin dengan peristiwa tersebut. Sahabat yang dimaksud adalah Mughirah bin Syu’bah sedangkan yang bersaksi adalah Abu Bakrah, Nafi’, Syibil bin Ma’bad dan Ziyad bin Abihi. Dua di antara mereka adalah sahabat Nabi yaitu Abu Bakrah dan Nafi’.

Diriwayatkan Al Hafiz Abu Bakar Baihaqi dalam Sunan Baihaqi 8/234 no 16819 dari Qusamah bin Zuhair:


عن قسامة بن زهير قال لما كان من شأن أبي بكرة والمغيرة الذي كان وذكر الحديث قال فدعا الشهود فشهد أبو بكرة وشبل بن معبد وأبو عبد الله نافع فقال عمر رضي الله عنه حين شهد هؤلاء الثلاثة شق على عمر شأنه فلما قام زياد قال إن تشهد إن شاء الله إلا بحق قال زياد أما الزنا فلا أشهد به ولكن قد رأيت أمرا قبيحا قال عمر الله أكبر حدوهم فجلدوهم قال فقال أبو بكرة بعد ما ضربه أشهد أنه زان فهم عمر رضي الله عنه أن يعيد عليه الجلد فنهاه علي رضي الله عنه وقال إن جلدته فارجم صاحبك فتركه ولم يجلده

“Dari Qusamah bin Zuhair yang berkata “Ketika ada permasalahan antara Abu Bakrah dengan Mughirah dan dilaporkan maka kemudian Umar meminta kesaksian. Abu Bakrah, Syibil bin Ma’bad, dan Abu Abdullah Nafi’ memberikan kesaksian. Umar berkata setelah mereka memberikan kesaksian, “Masalah ini membuat Umar dalam kesulitan”. Kemudian Ziyad datang, Umar berkata kepadanya, “bersaksilah insya Allah kecuali yang haq” . Maka Ziyad berkata, “Adapun zina, maka aku tidak menyaksikan dia berzina. Namun aku melihat sesuatu yang buruk”. Umar berkata, “Allahu Akbar, hukumlah mereka”. Oleh karena itu dicambuklah mereka bertiga. Kemudian setelah dicambuk oleh Umar, Abu Bakrah berkata, “ Saya bersaksi bahwa sesungguhnya dia Mughirah berzina”. Umar RA hendak mencambuknya lagi, namun Ali RA mencegahnya seraya berkata kepada Umar, “Jika engkau mencambuknya lagi, maka rajamlah sahabatmu itu”. Maka Umar mengurungkan niatnya dan tidak mencambuk Abu Bakrah lagi”.

Hadis ini adalah salah satu dari sekian banyak hadis dalam masalah ini dan hadis riwayat Baihaqi ini telah dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa Al Ghalil8/37. Abu Bakrah RA adalah salah seorang Sahabat Nabi SAW sebagaimana yang disebutkan Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/251 dan dia dengan jelas bersaksi menyatakan bahwa Mughirah bin Syu’bah telah berzina. Kenyataan ini hanya memiliki dua kemungkinan. Abu Bakrah benar akan kesaksiannya sehingga dalam hal ini Mughirah memang berzina atau malah Mughirah tidak berzina sehingga dalam hal ini Abu Bakrah telah memberikan kesaksian palsu. Sebelumnya mari perhatikan hadis berikut dalam Shahih Muslim tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi 1/91 no 143 (87):


حدثني عمرو بن محمد بن بكير بن محمد الناقد حدثنا إسماعيل بن علية عن سعيد بن الجريري حدثنا عبدالرحمن بن أبي بكرة عن أبيه قال كنا عند رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال ألا أنبئكم بأكبر الكبائر ؟ ( ثلاثا ) الإشراك بالله وعقوق الوالدين وشهادة الزور ( أو قول الزور ) وكان رسول الله صلى الله عليه و سلم متكئا فجلس فما زال يكررها حتى قلنا ليته سكت

“Telah menceritakan kepada kami Amru bin Muhammad bin Bakir bin Muhammad Naqid yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ulayyah dari Sa’id bin Al Jurairi yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Abi Bakrah dari Ayahnya (Abi Bakrah) yang berkata “kami berada di sisi Rasulullah SAW, kemudian Beliau bersabda “Perhatikanlah Aku akan memberitahukan pada kalian dosa yang terbesar (beliau mengulanginya tiga kali) yaitu Menyekutukan Allah SWT, durhaka kepada orang tua dan kesaksian palsu (atau ucapan dusta). Rasulullah yang semula bersandar kemudian duduk, Beliau mengulang-ngulang perkataannya sehingga kami berkata “semoga Beliau berhenti”.


Abu Bakrah RA adalah sahabat Nabi yang mendengar dan meriwayatkan langsung dari Nabi SAW bahwa Kesaksian palsu adalah dosa terbesar, oleh karenanya wajar jika diasumsikan jauh kemungkinannya bahwa Beliau akan bersaksi palsu. Ditambah lagi jika kita melihat hadis riwayat Baihaqi bahkan setelah dihukum cambukpun Abu Bakrah tetap berkeras pada kesaksiannya kalau Mughirah bin Syu’bah berzina. Tentu saja dalam masalah ini Mughirah terlepas dari hukuman karena Ziyad merubah kesaksiannya artinya saksi itu tidak mencukupi empat orang.

Ziyad dalam kisah ini adalah Ziyad bin Abihi orang yang di kemudian hari menjadi saudara Muawiyah dimana Muawiyah telah menetapkan nasabnya yaitu Ziyad bin Abi Sufyan, hal ini juga salah satu penyimpangan syariat yang dilakukan Muawiyah. Abu Bakrah dan Nafi’ adalah sahabat Nabi yang sudah jelas mengetahui bahwa dalam perkara zina kesaksian yang dibutuhkan adalah empat orang jika tidak maka yang bersaksi akan dikenakan hukuman bersaksi palsu. Oleh karena itu keberanian mereka berdua bersaksi atas Mughirah menunjukkan bahwa mereka berempat Abu Bakrah, Nafi, Syibil dan Ziyad memang menyaksikan hal yang sama. Tetapi kemudian Ziyad menyatakan kesaksian yang berbeda dengan ketiga orang lainnya yaitu ia tidak menyaksikan Mughirah berzina tetapi menyaksikan sesuatu yang buruk.Anehnya, apa sesuatu yang buruk itu sendiri tidak dijelaskan lebih lanjut. Kalau memang harus ada yang dituduh maka jauh lebih mungkin untuk dikatakan kalau Ziyad yang berdusta daripada mengatakan kalau Abu Bakrah bersaksi palsu. Jadi dalam hal ini Mughirah bin Syu’bah dikatakan telah berzina berdasarkan kesaksian Abu Bakrah RA.





Muawiyah Membunuh Sahabat Nabi Hujr bin Adi

Di antara salah satu penyimpangan yang dilakukan Muawiyah adalah perbuatannya yang membunuh salah seorang Sahabat Nabi yaitu Hujr bin Adiy Al Kindi RA. Hujr bin Adi adalah sahabat Nabi yang setia kepada Imam Ali AS, beliau bersama Imam Ali baik dalam perang Jamal maupun perang Shiffin. Para Ahli sejarah dan biografi rijal menyebutkan bahwa Hujr bin Adi dan para sahabatnya diperintahkan oleh Muawiyah untuk dieksekusi di desa Azra’ salah satu wilayah di Syam.

Ibnu Hajar menyebutkan biografi Hujr bin Adi dalam kitabnya Al Ishabah Fi Tamyiz As Shahabah 2/37 no 1631. Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Al Isti’ab 1/329 dan Ibnu Atsir dalam Usud Al Ghabah 1/565 mengatakan bahwa Hujr bin Adi salah seorang sahabat Nabi yang utama. Ibnu Atsir berkata dalam biografi Hujr:


وشهد القادسية وكان من فضلاء الصحابة

“Dia ikut dalam perang Qadisiyah dan dia salah seorang dari sahabat Nabi yang utama.”


Selain itu Ibnu Atsir juga berkata tentang Hujr:


فأنزل هو وأصحابه عذراء وهي قرية عند دمشق فأمر معاوية بقتلهم

“Dia dan sahabatnya sampai di Adzra’ sebuah desa di Damasykus dan Muawiyah memerintahkan untuk membunuh mereka.”


Al Hakim dalam Al Mustadrak 3/468 menuliskan Hujr dalam kitab Ma’rifat As Shahabah dengan judul:

ذكر مناقب حجر بن عدي رضى الله تعالى عنه وهو راهب أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم

Keutamaan Hujr bin Adi Radiallahuta’ala anhu dan dia rahib sahabat Muhammad Shalallahualaihi wassalam.

Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam An Nubala 3/463 menyebutkan biografi Hujr bin Adi dan ia berkata “lahu sahabah” yang artinya dia seorang Sahabat Nabi SAW. Adz Dzahabi juga memasukkan nama Hujr bin Adi dalam kitabnya Tajrid Asma As Shahabah 1/123 no 1264 dan berkata Adz Dzahabi dalam Tarikh Al Islam 4/33:


حجر بن عدي حجر الخير. له وفادة على النبي صلى الله عليه وسلم فأسلم

“Hujr bin Adiy Hujr Al khayr dia utusan yang datang kepada Nabi SAW dan memeluk islam.”


Khairuddin Az Zarkali dalam kitabnya Al ‘Alam 2/169 menyebutkan biografi Hujr bin Ady:


حجر بن عدي بن جبلة الكندي ويسمى حجر الخير صحابي شجاع من المقدمين وفد على رسول الله صلى الله عليه وسلم وشهد القادسية ثم كان من أصحاب علي وشهد معه وقعتي الجمل وصفين

“Hujr bin Ady bin Jabalah Al Kindi Hujr Al Khayr seorang Sahabat yang gagah berani dari golongan terdahulu. Dia utusan yang datang kepada Nabi SAW ikut dalam perang Qadisiyah dan dia juga sahabat Ali berada di sisinya pada saat perang Jamal dan Shiffin.”


Az Zarkali juga berkata:

فأمر معاوية بقتله في مرج عذراء ( من قرى دمشق ) مع أصحاب

“Muawiyah memerintahkan membunuhnya di Azra’ (suatu desa di damasykus) bersama para sahabatnya.”

Ibnu Qutaibah Al Dinawari dalam kitabnya Al Ma’arif hal 148 menyebutkan biografi Hujr bin Ady:


حجر بن عدي رضي الله تعالى عنه هو الذي قتله معاوية ويكنى أبا عبد الرحمن وكان وفد إلى النبي صلى الله عليه وسلم وأسلم وشهد القادسية وشهد الجمل وصفين مع علي، فقتله معاوية بمرج غدراء مع عدة

“Hujr bin Adiy Radiallahuta’ala anhu, dia dibunuh oleh Muawiyah. Kuniyahnya Abu Abdurrahman, dia seorang utusan yang datang kepada Nabi SAW dan memeluk islam. Ikut dalam perang Qadisiyah, mengikuti perang Jamal dan Shiffin bersama Ali,Muawiyah membunuhnya di Azra’ bersama beberapa sahabatnya.”


Tuesday, June 30

Fatimah Zahra (a) the Link between Prophethood and Imamat


Fatimah (A.S.) was the only woman connecting Prophethood and Imamate and was the link between the two. She was the daughter of the Holy Prophet (S.A.W.), the wife of the first Imam (A.S.) and the mother of the rest of the Imams (A.S.) who descended from her and her husband Ali (A.S.). Allah singled her out with this virtue and peculiarity because she was the most perfect and highest example in purity, sanctity, worship, asceticism and morals.


According to some Qur'an commentaries (tafsir), when the Quraysh (tribe) said that the Prophet (S.A.W.) had no offspring, the chapter of al-Kawthar was revealed: 'Verily We have given thee the Kawthar (Abundance). So pray thou unto thy Lord! And offer sacrifice. Verily, thy enemy shall be the one cut off (in his progeny).' (Qur'an 108:1-3)


'We have given you al-Kawthar' means we have given you the abundant good, which shall last throughout your life and after it; therefore, turn your face unto your Lord in prayer, as mention of your name shall never end and your offspring shall never perish; it is those standing against you who are more deserving of this description.


This revelation was given against the backdrop of the pronouncements by some of the Quraysh's most scurrilous men - such as al-'As bin Wa'il, Abu Jahl, 'Uqbah bin Abi Mu'ayt and Ka'b bin al-Ashraf - that the Prophet (S.A.W.) was cut off from male children, after the death of his son al-Qasim. Hence, it is clear that the abundant good - al-Kawthar - was pointing to the abundant offspring which the Prophet (S.A.W.) would have through his daughter Fatimah (A.S.), and that this was a reply to those people and their effort to weaken the Prophet's spirits.


Supporting our interpretation, al-Tabataba'i, in al-Mizan commentary, said: 'Without that, the words 'Verily, thy enemy shall be the one cut off' would be useless.


Her Childhood


In Fatimah's childhood, there was no place for playing, leisure and purposelessness. Nor were her energies those of a child living a childhood of innocence and simplicity. Rather, hers was the energy of a child who stored within herself a feeling for the role which she should play in the Messenger's life and the suffering and pain which he was facing.


It was a childhood with the characteristics of a motherhood, living its spirit and fulfilling its role.There she was, and having opened her eyes to life, she saw her father (S.A.W.) coming every now and then, weighed down by the pressures, burdens and harm inflicted by the atheists; so she would embrace her father and relieve his pain and take care of him with all kindness.One day, she saw her father (S.A.W.) in the Holy Mosque of Makkah after the atheists had dumped dirt and rubbish over his back while he was praying to his Lord.


She promptly went forward and removed the rubbish with her small hands, expressing her sadness and condolences to him (S.A.W.) with her tears.This is what made her open up to her responsibilities in her early childhood to stand by her father, to take care of him and empathize with him; and he was the one who had lost his mother, and his sympathetic wife.


She stood by him when he was challenged with the Message: some called him names, others accused him of being insane, others threw dirt and stones on him; his uncle Abu Lahab crying out: 'No doubt, Muhammad (S.A.W.) has bewitched you!'But when he returned home, he would be greeted by Fatimah (A.S.), with her sympathy and care, which was not that of a child weeping without awareness..... She was sensing that his pain was also hers and so amassed during her childhood the pain of the Message and pain of the Messenger... And whosoever amasses in their early childhood the awareness of the pain of the Messenger and the Message cannot find time for leisure or playing or purposelessness; playing and purposelessness occur in our lives because of an emptiness, which we are trying to fill.This was how Fatimah (A.S.) grew up, not like other children, but as a person with mission in her feelings, emotions, opinions and her whole dynamic attitude.


Her Relationship with the Holy Prophet (S.A.W.)


Ibn 'Abdul Barr, in al-Istee'ab, narrated - and we would like very much to use it, as it was a Sunni source which represents a neutral source, so that the Shi'ah could not be accused of talking out of emotion - that 'Ayshah said: 'I had not seen any one who was more resembling the Messenger of Allah in his speech, conduct and manners as Fatimah; when she used to enter (his house) he would stand up for her, take her hand and kiss it and make her sit in his sitting place; and when he used to enter (her house) she would stand up for him, take his hand and kiss it and make him sit in her sitting place'.


When we study this text, we can conclude two things: first, the unity and complete merging between Fatimah's personality and her father's, as the person most closely resembling him. This is reflected even in his walking, as seen in many narrations, such as 'Fatimah came and her walk did not fail the walking of the Messenger of Allah (S.A.W.)'; second, the depth of the spiritual relationship between the Prophet (S.A.W.) and Fatimah (A.S.), a relationship which the Prophet (S.A.W.) had with Fatimah (A.S.) alone.Another narration by al-Hakim in al-Mustadrak states: 'The Messenger of Allah used, when he came back from a battle or journey, to come to the mosque and pray two rak'as to thank Allah..... then would enter to (the house of) Fatimah, then he would come to his wives'.


This meant that Fatimah (A.S.) held the prime place in the relationships between the Prophet (S.A.W.) and other people, including his wives.In the same book, al-Mustadrak, al-Hakim also narrated: 'The Prophet (S.A.W.), when he used to travel, the last person he would see was Fatimah.'Thus her image would stay in his mind, and the kindness and emotion, with which she used to embrace him, would stay with him in his travel and his memory, to comfort him.Al-Hakim added: 'And when he returned from a journey, the first person he would see would be Fatimah.'Historians have said that the Prophet (S.A.W.) did not accept that Fatimah (A.S.) became separated from him even after her marriage and, therefore, did not accept that she lived in a house far away from him, so she lived in the house next to his so that he could enter into her house directly from his.In al-Isti'ab we read: ''Ayshah was asked: who was the most beloved person to the Messenger of Allah? She replied: Fatimah. I asked: and amongst men? She said: her husband...'


This is an important witness by 'Ayshah for Fatimah and Ali (A.S.)


There are many stories from her life which tell how she used to study her father's thoughts to know what he liked and disliked, what opened up his heart and what closed it. An example of this was when he (S.A.W.) came back from a journey and entered her house, looked around a little, then left. Quickly she knew that something bothered the Messenger of Allah (S.A.W.).


She thought about it and realized that on the door of her house was a curtain and that she had two bracelets in her hands; she took the curtain down and took off the bracelets and sent them with her sons and said: 'Say greetings to my father and say to him: we have not introduced anything after you except this, it is for you to do with them what you like.'When the Prophet (S.A.W.) heard this, his expression relaxed.


He was moved by this generous, wonderful, spiritual gesture by his daughter, and this thoughtful response, and gave these things to the poor, saying: 'She did this! May her father be sacrificed for her! May her father be sacrificed for her! May her father be sacrificed for her! What have the family of Muhammad (S.A.W.) to do with life: they have been created for the hereafter!'This is what every girl with a mission should learn, when her father is a man of missionary affiliations and responsibilities; as too should every woman with someone who has a missionary dimension in his life: she should learn not to get too engrossed with her own affairs, but to open herself up to the responsibilities of her father, husband, brother or son so as to join with him in the dynamic movement of responsibility, and not to add to the burdens to his responsibility.


For we see many great men, past and present, become burdened by the people who are around them: while when they think in a missionary manner, those around them think only of themselves.We also learn from Fatimah (A.S.), in her advanced missionary awareness and position, that she was someone who rebelled against her personal needs, however simple, for the sake of her missionary ambitions; she was someone who prioritized in favour of principles over the self. This is what we need to learn, for many of us - men and women alike - fall down when it comes to a choice between the needs of the principle and the needs of the self; we too often choose the self, and may even make a principle of service to the self.Fatimah al-Zahra (A.S.) was unique in all her behaviour and deeds, even in her sorrow for her beloved, especially during her separation from the Messenger of Allah (S.A.W.).


Historians tell us that, when she went to him as he was dying, she embraced him and he whispered something in her ear which made her weep. Then, when he whispered something that made her laugh, she was asked:'How quickly (your) laughing after weeping?!' She said: 'I shall not reveal the Messenger of Allah's secret in his life.' So, when she was asked about this after his death, she said: 'He whispered in my ear first that he was going to meet his Lord and that his soul was announced to him (his death), so I wept; then he whispered in my ear again that I was going to be the first of his family to go after him, so I laughed!'Where else would you find a young woman, whatever her love for her father, become happy when he tells her that she is going to be the first to die after him?What relationship deeper could be than this, and what unity of spirit could be stronger?