Friday, April 29

Syiah bukan Islam?


Ketua MUI: Syiah Itu Sah dan Benar sebagai Mazhab dalam Islam

Di hadapan lebih dari seratus pelajar Indonesia yang belajar di Iran, Prof. Umar Shihab menyatakan, "Sunni dan Syiah bersaudara, sama-sama umat Islam, itulah prinsip yang dipegang oleh MUI. Jika ada yang memperselisihkan dan menabrakkan keduanya, mereka adalah penghasut dan pemecah belah umat, mereka berhadapan dengan Allah swt yang menghendaki umat ini bersatu."


Menurut Kantor Berita ABNA, dalam kunjungannya ke Iran atas undangan Majma Taghrib bainal Mazahib Ketua MUI Pusat Prof. DR. KH. Umar Shihab beserta beberapa anggota rombongan menyempatkan mengadakan tatap muka dan pertemuan dengan pelajar Indonesia yang sedang menuntut ilmu di kota suci Qom, Iran. Pertemuan yang dimediasi oleh Sayyid Farid, salah seorang ulama Iran yang sering berkunjung ke Indonesia bertempat di kediaman beliau di Mujtama Maskuni Ayatullah Sistani, Qom. Hadir lebih dari seratus pelajar Indonesia beserta keluarganya dalam pertemuan sederhana yang berlangsung kurang lebih dua jam tersebut.

DR. Khalid Walid, wakil ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI memberikan sambutan pengantarnya dengan menjelaskan kedatangan rombongan MUI ke Iran atas undangan Majma Taghrib bainal Mazahib. Rombongan MUI terdiri dari ketua pusat, beberapa ketua harian dan ketua komisi, namun beberapa dari rombongan telah bertolak ke tanah air sehingga tidak sempat mengikuti pertemuan dengan para pelajar Indonesia tersebut. "Dalam kunjungan ini kami telah melakukan beberapa hal, diantaranya, atas nama ketua MUI. KH. Prof. DR. Umar Shihab dan atas nama Majma Taghrib bainal Mazahib Ayatullah Ali Tashkiri, telah dilakukan penandatanganan MOU kesepakatan bersama. Diantara poinnya adalah kesepakatan untuk melakukan kerjasama antara MUI dengan Majma Taghrib bainal Mazahib dan pengakuan bahwa Syiah adalah termasuk mazhab yang sah dan benar dalam Islam. " Jelas DR. Khalid.

Lebih lanjut beliau menjelaskan,"Diantara bentuk kerjasama yang disepakati adalah pengiriman para peneliti dan ulama Indonesia ke Iran untuk mengikuti pertemuan dan pendidikan khusus mengenai beberapa hal yang beragam di Iran begitu juga sebaliknya, ulama-ulama dan peneliti Iran akan berkunjung ke Indonesia. Di samping itu juga kita telah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran, Departemen Pengurusan Haji dan juga berkunjung ke Kamar Dagang Industri Iran untuk bekerjasama dalam produk halal. Insya Allah, jalinan kerjasama ini diharapkan dengan tujuan mengeratkan hubungan antara Republik Islam Iran dengan masyarakat muslim Indonesia."

"Semoga dengan adanya kesepakatan dan kerjasama tersebut ukhuwah Islamiyah dapat terjalin dengan baik dan kedua belah pihak bisa saling memahami." Harapnya.
Perpecahan dan Kebodohan, Ujian bagi Umat Islam Saat Ini

Selanjutnya, KH. Prof. DR. Umar Shihab menyampaikan nasehatnya di hadapan seratus lebih pelajar Indonesia yang hadir. Beliau menyatakan bahwa hidup di dunia ini penuh dengan tantangan, ujian dan kesulitan-kesulitan. "Tidak ada seorangpun yang hidup ini di dunia ini tidak luput dari ujian, diantara ujian tersebut adalah fitnah, kekurangan harta, kelaparan dan kematian. Namun dalam konteks kehidupan kita sekarang kata para ulama, ujian terberat yang dihadapi kaum muslimin saat ini ada dua. Yang pertama, adalah ujian perpecahan. Betapa sulitnya kita menjalin persatuan. Perpecahan begitu mudah terjadi, antara keluarga, sesama pengikut agama, antar Negara dan sebagainya. Ujian yang kedua adalah kebodohan. Mayoritas umat Islam sulit untuk melepaskan diri dari belenggu kebodohan, karena pura-pura tidak tahu atau memang sama sekali tidak mau tahu."

Lebih lanjut menjelaskan, "Masyarakat Indonesia saat ini diuji dengan perpecahan. Dalam internal umat Islam sendiri terdapat berbagai macam kelompok yang mengarah kepada perpecahan, ada yang menyatakan diri sebagai kelompok liberal, kelompok anti agama, kelompok anti Syiah dan lain-lain. Keberadaan kelompok-kelompok ini sangat mengancam persatuan umat Islam. Pada kesempatan ini saya akan menyampaikan ada dua kelompok pemecah umat Islam. Yang pertama kelompok pemecah dari luar umat Islam, yakni dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Sebagaimana yang dijelaskan Al-Qur'an keduanya tidak akan senang sampai umat Islam mengikuti agama dan kelompok mereka. Mereka melakukan berbagai macam cara dengan giat utuk memecah belah umat, melalui buku-buku, selebaran dan memanfaatkan tekhnologi yang mereka miliki. Mereka menipu dan menghasut umat misalnya melalui pemahaman pluralisme yang menyatakan semua agama sama. Ini adalah pemahaman yang sesat bahkan mengarah kepada kekafiran. Karena itu MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa pernyataan dan keyakinan semua agama sama adalah pernyataan yang tidak bisa dibenarkan dan MUI telah mengharamkannya."

"Yang kedua, kelompok pemecah dari kalangan umat Islam sendiri. Tidak sedikit dari kelompok umat Islam yang justru memecah belah umat. Mereka mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang memicu perpecahan umat, mereka misalnya menyebut maulid itu bid'ah, mengucapkan shalawat di setiap kegiatan itu bid'ah sehingga dengan pemahaman yang seperti itu mereka menyesatkan dan memusuhi kelompok Islam yang mengamalkannya. Kita harus waspada terhadap kelompok pemecah dari dalam ini, mereka bahkan sampai menggunakan banyak uang saking gigihnya untuk memecah belah umat ini."

"Ujian yang kedua adalah kebodohan. Pelajari dan tuntutlah ilmu agama ini dengan benar dan dari sumbernya yang asli. Al-Qur'an menyebutkan, yang manakah lebih layak kamu ikuti, orang yang memiliki pengetahuan atau orang yang tidak memiliki pengetahuan?. Dan Nabi Muhammad saww dalam haditsnya menyebutkan, Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya. Dari riwayat Nabi ini, jelas disebutkan bahwa Sayyidina Ali lebih layak diikuti setelah Nabi. Karenanya tuntutlah ilmu yang berasal langsung dari sumbernya. Sayangnya kebanyakan kaum muslimin menyingkirkan dan melupakan hadits-hadits yang bersumber dari Sayyidina Ali, keluarga, sahabat utama dan terdekat dengan Nabi, dan lebih banyak mengamalkan dan menerima hadits dari selain beliau."

Lebih spesifik mengenai ujian kebodohan ini, Prof Umar Shihab menasehatkan kepada para hadirin, "Selama di Iran belajarlah dengan sungguh-sungguh, rauplah ilmu sebanyak-banyaknya disini, dan ketika kembali ke tanah air, sampaikanlah argumen-argumen yang benar mengenai Islam. Tanggung jawab menjaga Islam berada di pundak kalian, para penuntut ilmu. Jauhilah kebodohan! Karena kebodohan adalah musuh kita bersama. Salah seorang ulama terkemuka Sunni asal Kairo, Syaikh Mutalawid Sayhrawi pernah mengatakan, persatuan umat Islam tidak akan tercapai jika umat Islam masih terbelenggu dalam kebodohan. Persatuan umat Islam hanya bisa dicapai jika umat Islam ini pandai. Mereka yang berhak untuk memberikan kritik atas pemahaman orang lain adalah mereka yang pandai dan berilmu, yang memiliki argumen-argumen yang kuat. Namun bukan berarti harus menyalahkan pemahaman yang berbeda. Ketika kalian kembali ke tanah air, silahkan ingin bermazhab apa, selama mazhab tersebut mendapat pengakuan dan pembenaran dari Islam. Sebagaimana MUI telah menyatakan bahwa Sunni dan Syiah sebagai mazhab yang benar. Maka dibenarkan umat Islam di Indonesia untuk memeluk salah satunya. Dan tidak dibenarkan satu sama lain saling menyalahkan yang dapat memecah belah persatuan."

"Satu hal yang mesti ditanamkan dalam benak pikiran saudara-saudara semua, adalah umat Islam hanya akan kuat dengan persatuan, dan menjadi lemah dengan perpecahan. Dan perintah Al-Qur'an umat Islam harus menjalin persatuan dan melarang kita untuk berpecah. Alhamdulillah, kita bersyukur dengan keberadaan Republik Islam Iran, yang sangat gigih bekerja keras untuk mewujudkan persatuan umat Islam ini dan diantara Negara yang menyatakan perlawanan terhadap imperialisme. Presiden SBY pernah berkata langsung kepada saya, Indonesia adalah Negara yang penduduknya umat Islam terbesar di dunia, namun mengapa tidak mampu memberi peranan terhadap terwujudnya persatuan umat Islam, khususnya persatuan antara Sunni dan Syiah?. Karenanya kami dari MUI menyambut baik ajakan dan undangan dari Republik Islam Iran untuk bekerjasama mewujudkan persatuan umat Islam."

Dipenghujung ceramah beliau, Ketua MUI Pusat Prof. DR. Umar Shihab kembali mempertegas pesan beliau kepada para pelajar Indonesia yang hadir, "Pesan Al-Qur'an Innamal mu'minuna ikhwa, orang-orang yang beriman itu bersaudara. Saudara-saudara belajarlah yang bersungguh-sungguh, dan ketika kembali ke tanah air, sampaikanlah ajaran Islam yang benar. Saya tidak menyatakan yang benar itu Syiah atau Sunni, tetapi keduanya. Jadilah rahmat bagi umat sekembali kalian ke tanah air, jangan justru menjadi pemecah belah umat. Dalam Sunni dan Syiah memang ada sekte-sekte atau kelompok yang menyimpang, itu harus kalian jelaskan kepada umat, singkap kekeliruan-kekeliruan mereka dan sampaikan ajaran yang benar. Sunni dan Syiah bersaudara, sama-sama umat Islam, itulah prinsip yang dipegang oleh MUI. Jika ada yang memperselisihkan dan menabrakkan keduanya, mereka adalah penghasut dan pemecah belah umat, mereka berhadapan dengan Allah swt yang menghendaki umat ini bersatu. Saya sudah tua, dan kiprah saya tidak lama lagi akan berakhir. Karenanya kalianlah yang saya harap untuk melanjutkan perjuangan untuk mempersatukan umat. Kembalilah ke tanah air, tunjukkan kiprah dan peran kalian. Semoga Allah swt mempersatukan umat Islam ini, sehingga bisa menjadi rahmat bagi sekalian alam."


Prinsip MUI: Sunni dan Syiah Bersaudara

Setelah Prof. Umar Shihab menyampaikan nasehatnya, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Beberapa pelajar kemudian mengajukan pertanyaan. Diantara pertanyaan yang diajukan, bisakah MUI wilayah di daerah mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI Pusat?. Prof Umar Shihab memberikan jawaban, MUI wilayah jika berkaitan khusus dengan persoalan umat di daerahnya dibenarkan untuk mengeluarkan fatwa sendiri, namun jika berkaitan dengan kepentingan nasional, maka yang berhak mengeluarkan fatwa hanya MUI Pusat yang harus diikuti oleh MUI-MUI di daerah. Dan MUI di daerah tidak memiliki wewenang untuk menganulir fatwa yang telah dikeluarkan MUI Pusat. "Misalnya ada MUI Daerah yang mengeluarkan fatwa Syiah itu sesat -namun Alhamdulillah syukurnya belum ada MUI Daerah yang mengeluarkan fatwa seperti itu- maka fatwa tersebut tidak sah secara konstitusi, sebab MUI Pusat menyatakan Syiah itu sah sebagai mazhab Islam dan tidak sesat. Jika ada petinggi MUI yang mengatakan seperti itu, itu adalah pendapat pribadi dan bukan keputusan MUI sebagai sebuah organisasi." Jelas beliau.

Ketika ditanyakan langkah-langkah MUI Pusat yang akan dilakukan untuk mewujudkan persatuan umat dan menyelesaikan perselisihan Sunni-Syiah, Prof. Umar Shihab menjelaskan bahwa MUI akan menjadi penyelenggara seminar Internasional Persaudaraan umat Islam di bulan Desember akhir tahun ini. "MUI akan mengundang ulama-ulama dari berbagai Negara, dari Mesir, Iran bahkan dari Arab Saudi termasuk Syaikh Yusuf Qhardawi untuk hadir sebagai pembicara. Indonesia insya Allah akan menjadi perintis persatuan umat Islam khususnya antara Sunni dan Syiah, semoga Allah membantu usaha-usaha kita." Jelas beliau.

Setelah memasuki waktu maghrib, dilakukan shalat maghrib berjama'ah. Yang diimami oleh Sayyid Farid, dan Prof. Umar Shihab menjadi jama'ah di shaf pertama. Acara pertemuan tersebut diakhiri dengan makan malam bersama, dan do'a bersama dipenghujung acara dipimpin oleh KH. Prof. DR. Umar Shihab.

Pertemuan Ketua MUI Pusat Prof. DR. Umar Shihab dengan pelajar Indonesia yang sedang berada di Qom Iran ini adalah pertemuan yang kedua kalinya, setelah sebelumnya dua tahun lalu diadakan pertemuan di tempat yang sama.

* Tapi masih ada golongan yang bodoh dan sentiasa mahu jadi bodoh.. Sibuk mahu menghukumkan kafir ke atas syiah dgn pelbagai hujah yang dangkal yg bersifat FITNAH semata2!!!

Sunday, April 10

Syiah dan Sahabat (Part VII ; Asad Haydar)

Qudamah bin Mad'un (Maz'un)

Qudamah bin Mad'un bin Habib wafat pada tahun 36H. Beliau adalah di kalangan sahabat yang terawal dan telah berhijrah sebanyak dua kali. Khalifah Umar bin al-Khattab menghantarnya ke Bahrain untuk urusan tertentu. Al-Jarud Sayyid 'Abd al-Qais datang berjumpa Umar bin al-Khattab daripada Bahrain dan beliau telah menyaksikan bahawa Qadamah telah meminum arak lalu mabuk.

Umar berkata: Siapakah yang menjadi saksi bersama anda? Jarud menjawab: Abu Hurairah. Lalu Umar pun berkata kepada Abu Hurairah: Dengan apakah anda menyaksikannya? Dia menjawab: Aku tidak melihatnya (minum) tetapi aku melihatnya mabuk dan muntah-muntah. Umar berkata:Anda telah menukar cara penyaksian. Kemudian beliau (Umar) menulis surat kepada Qadamah supaya dia datang dari Bahrain untuk menemuinya. Lalu dia datang. Al-Jarud berkata: Laksanakanlah had Allah ke atas (lelaki) ini. Umar berkata: Adakah anda bermusuhan (dengannya) atau sebagai saksi? Dia menjawab: sebagai saksi. Dia berkata:Sesungguhnya anda telah melakukan penyaksian anda.

Kemudian al-Jarud mendesak Umar agar melaksanakan had ke atasnya. Umar berkata: Aku fikir anda bermusuhan (dengannya), hanya seorang sahaja yang menyaksikannya bersama anda. Al-Jarud berkata:Semoga Tuhan memberi penjelasan kepada anda. Umar berkata: Anda mestilah menjaga lidah anda atau aku akan menyakiti anda. Maka dia berkata:Wahai Umar, adakah itu kebenaran, sepupu anda yang meminum arak kemudian anda menyakiti aku. Abu Hurairah berkata:Wahai Amir al-Mukminin jika anda mengesyaki pada penyaksian kami pergilah kepada anak perempuan Al-Walid dan bertanyalah kepadanya iaitu isteri Qadamah - maka Umar pun berjumpa Hind binti al-Walid dan meminta penjelasannya. Lantas dia memberi penyaksiannya ke atas suaminya. Kemudian Umar berkata kepada Qadamah:Aku akan melaksanakan had ke atas anda. Qadamah berkata: Jika aku meminum (arak) sebagaimana anda kata, anda tidak boleh menjalankan had ke atasku. Umar berkata: Kenapa? Qadamah menjawab: Kerana Allah berfirman:

"Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang soleh kerana memakan makanan yang telah mereka makan dulu, apabila mereka bertaqwa dan beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang soleh."[54]

Umar berkata: Anda telah tersalah takwil. Jika anda bertaqwa kepada Allah, nescaya anda menjauhi apa yang diharamkan oleh Allah. Kemudian Umar bertanya kepada orang ramai dengan berkata: Apakah pendapat anda tentang sebat ke atas Qadamah? Mereka menjawab:Kami berpendapat anda tidak boleh menyebatnya selagi dia sakit. Kemudian Umar berdiam diri beberapa hari. Dia masih berazam untuk menyebatnya. Dia bertanya:Apakah pendapat kalian tentang sebat ke atas Qadamah?

Mereka berkata: Kami berpendapat anda tidak boleh menyebatnya selagi dia masih menderita kesakitan. Umar menjawab: Dia berjumpa dengan Allah setelah disebat lebih aku suka dari aku berjumpa denganNya sedangkan dia (Qadamah) berada "ditengkuk" ku.....Bawa datang satu tongkat kepadaku. Maka dia perintahkan supaya Qadamah disebat.[55]

Inilah kisah Qadamah dan perlaksanaan hukum had ke atasnya serta penakwilannya ke atas apa yang dilakukannya. Kami menyebutnya bukanlah untuk menurunkan kemuliaannya atau mencacinya tentang agamanya. Kerana beliau mempunyai kemuliaan hijrah dan termasuk di kalangan orang yang terdahulu (memeluk Islam). Tetapi kami menyebutnya untuk menerangkan bahawa tidaklah betul apa yang mereka dakwa bahawa "penakwil" tidak dikira
bersalah jika ia menyalahi ijma'. Sebagaimana juga kes Abul al-Ghadiyah yang membunuh Ammar bin Yasir, meskipun dia sendiri mengaku apa yang dilakukannya adalah satu jenayah yang akan memasukkannya ke neraka.[56]

Terdapat juga sekumpulan sahabat yang telah melakukan takwil tetapi mereka sebenarnya telah melakukan kesalahan. Oleh itu takwil mereka tidak dapat melepaskan mereka daripada had. Mereka itu ialah: Abu Jundal, Dirar bin al- Khattab, dan Abu al-Azwar. Abu Ubaidah mendapati mereka minum arak. Lantas beliau menentang mereka. Lalu Abu Jundal membaca firman Allah:

"Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang soleh memakan makanan yang mereka telah makan....."[57]

Tetapi dia tidak menerima hujah mereka, dan mengenaka had ke atas mereka. Di manakah keadilan untuk melaksanakan hukum had ke atas mereka jika mereka semuanya adil?

Begitu juga 'Abd al-Rahman bin Umar bin al-Khattab telah meminum arak di Mesir, lalu Amru bin al-As melaksanakan hukum had ke atasnya.[58]

Syiah dan Sahabat (Part VI ; Asad Haydar)

Sahabat Mengikut Batas Kitab Dan Sunnah

Adakah Syi'ah melampaui batas al-Qur'an dan Sunnah apabila mereka mengkritik perbuatan-perbuatan sebahagian sahabat yang terang-terang bertentangan dengan nas, tidak ada ruang untuk ditakwil dn dikompromikan?

Kerana pada umumnya sahabat tidak diberikan "kekuasaan pengurusan" di dalam hukum-hukum. Dan mereka pula tidak boleh menyalahi batas-batas hukum. Kerana ijtihad yang menyalahi nas (al-Qur'an dan Sunnah)[48] adalah suatu penolakan terhadap hukum. Dan membelakangi al-Qur'an itu sendiri.

Disebabkan kebanyakan sahabat baru memeluk Islam, adalah menjadi lumrah mereka dijinakkan dengan perkara-perkara tertentu. Dan tabiat itu sukar diatasi dengan cepat. Mereka itu tidak semuanya setanding, kerana terdapat di kalangan mereka yang menerima Islam lebih awal. Dan sesiapa yang kuat imannya akan menyibarkan Islam dan membawa "bendera keadilan", dengan niat yang betul. Dan berhijrah dengan iman yang suci. Nabi SAWA bersabda:

"Sesungguhnya amal perbuatan itu (dikira) dengan niat(niyat)nya, sesungguhnya setiap orang itu (dikira) apa yang ia niatkan. Maka sesiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya. Dan sesiapa yang berhijrah untuk dunia yang ditujukan kepada wanita yang ia akan mengahwininya, maka hijrahnya itu kembali kepada niat hijrahnya." [49]

Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah! Adakah kami akan diambil kira dengan apa yang kami lakukannya di (masa) jahiliyyah?" Maka Rasulullah SAWA menjawab:"Adapun sesiapa yang telah melakukan kebaikan daripada kamu di dalam (masa) Islam maka ia tidak akan diambilkira dengannya (amalannya di masa jahiliyyah) dan sesiapa yang melakukannya (di masa Islam) akan diambilkira (amalannya) di masa jahiliyyah dan Islam."[50]

Riwayat daripada Sahib berbunyi:

"Tidak beriman dengan al-Qur'an orang yang menghalalkan apa yang diharamkanNya."[51]

Ibn Umar berkata: Rasulullah SAWA menaiki mimbar masjid, lalu beliau menyeru dengan suara yang lembut: "Wahai kumpulan orang yang beriman dengan lidahnya, imannya tidak sampai ke hatinya, janganlah anda menyakiti Muslimin, memalukan mereka, mencari keaiban mereka. Sesiapa mencari keaiban saudara Muslimnya, nescaya Allah akan mendedahkan keaibannya. Dia akan mendedahkan sekalipun dia berada di dalam "perjalanannya" yang jauh."[52]

Demikian betapa jelasnya kepada kita hadith-hadith Nabi SAWA dan ayat-ayat al-Qur'an yang menunjukkan bahawa manusia adalah sama di hadapan hukum-hukum Allah SWT sama ada sahabat atau tidak. Dan untuk menentukan keadilan adalah bergantung kepada perbuatan individu. Tidak ada ertinya keadilan tanpa amal.

Sahabat sepatutnya melakukan keadilan lebih ketara lagi. Pendapat yang mengatakan ijtihad mereka adalah mutlak, menghadapi kesukaran di dalam menentukan keadilan. Hasilnya menjadi beku dan tidak memberi erti banyak faedah. Kerana melakukan ta'wil ketika wujudnya nas bermakna menolak hukum (yang ditetapkan oleh nas). Oleh itu tidaklah sah mereka menakwilkannya kerana ianya bercanggah dengan zahirnya. Kemudian mereka pula mengharuskan (bagi mereka) menyalahi zahirnya. Kerana hukum adalah sama
bagi manusia untuk menentukan keadilan mereka. Justeru itu tiada siapa pun yang boleh untuk tidak mematuhinya atau tidak melaksanakannya.

Bagi kami politik Imam Ali bin Abi Talib dan sirahnya pada masa khalifah-khalifah yang terdahulu daripadanya dan masa pemerintahannya adalah menjadi bukti yang kuat kepada apa yang kami perkatakan. Beliau melaksanakan hukum had ke atas orang yang melampaui hudud Allah dan menilai seseorang pengikut perbuatannya. Jika seseorang itu besar kedudukannya di sisi Allah, maka besarlah kedudukannya di sisinya. Berapa banyakkah beliau menyeru orang yang mereka namakan sahabat, telah menyalahi Kitab Allah dan Sunnah RasulNya dan memeranginya pula? Beliau mengisytiharkan dirinya bersih daripada mereka malah mengisytiharkan cacian beliau ke atas sebahagian mereka di atas mimbarnya kerana mereka menyalahi Kitab Allah dan Sunnah NabiNya SAWA.

Sesiapa yang mengkaji perjanjian-perjanjian Imam Ali AS dengan pegawai-pegawainya, wasiat-wasiatnya kepada pemerintah-pemerintah angkatan tenteranya, dan surat-suratnya kepada gabenor-gabenornya,[53] nescaya dia akan dapati betapa tidak betulnya kata-kata bahawa semua sahabat adalah adil, sekalipun mereka melakukan apa yang telah diharamkan Allah SWT.
Kita tidak berpeluang untuk membicarakan tentang sirah Imam Ali AS dengan panjang lebar ketika kita membicarakan sahabat. Walau bagaimanapun sahabat-sahabat Muhammad SAWA mestilah menjauhi apa yang dilarang oleh Allah Ta'ala, berhidayah dengan hidayah RasulNya, dan tidak membuka peluang kepada sesiapapun untuk menakwil bagi menentang nas. Kerana ijtihad mempunyai syarat-syarat. Semoga kisah Qadamah sebaik-baik bukti bagi menjelaskan perkara ini.