Saturday, March 20

Khulafa' yang Empat

Menurut ahl-Sunnah mereka adalah Khalifah yang empat yang berkedudukan sebagai Khalifah sesudah wafatnya Rasulullah SAW. Ahl -sunnah wal-Jamaah’ menganggap utamanya para Khalifah ini atas semua manusia yang lainnya kecuali Rasululloh SAW, masih sangat diragukan pada masa Pemerintahan Bani Umayah nama Imam Ali KW tidak disebut atau disebut sebagai Khulafaur Rasyidin.

Menurut sejarah tercatat bahwa Imam Ali ibn Abi Thalib KW baru dtambahkan setelah Imam Ahmad ibn Hambal menambahkannya sebagai Khalifah dan sekaligus sebagai salah satu dari Khulafaur Rasyidun dan sebelum itu beliau pernah dikutuk dari atas mimbar-mimbar dalam semua tanah daulah Islam dan disepanjang Pemerintahan Dinasti Umayyah. Supaya dapat lebih jelas lagi dalam memahami perkara ini, dan supaya kita akan merasa lebih tenteram dengan fakta yang menyedihkan ini, kita akan coba tinjau salah satu contoh dari seorang sahabat sekaligus Putra dari Umar bin Khattab.



Abdullah ibn Umar ini telah dianggap oleh ‘ahl-sunnah wal-jamaah’ sebagai seorang ahli fiqh yang terkemuka, bahkan Imam Malik menjadikannya sebagai sandaran utama yang dia bergantung kepadanya didalam bukunya Al-Muwatta. Dia [Abdullah ibn Umar ] juga menjadi sumber bagi al-Bukhari dan Muslim didalam penulisan sahih mereka masing-masing. Kesemua penyampai hadits yang lain juga tanpa sebarang pengecualian bergantung kepadanya.

Abdullah ibn Umar amat terkenal dan secara terbuka memperlihatkan kebenciannya terhadap Amirul Mukminin Ali ibn Abu Thalib AS. Sejarah menyampaikan kepada kita bahwa dia tidak memberikan sumpah setia kepada Imam Ali KW, tapi dia dengan serta merta memberikan sumpah setianya kepada orang yang terkutuk al-Hajjaj, jelas-jelas al-Hajaj itu musuh Allah dan Rasul-Nya. [1]

Abdullah ibn Umar telah mengatakan yang berikut ketika mencoba untuk menerangkan hadits dari baginda Rasul SAW ketika bersabda : ‘Para Khalifah sesudahku adalah dua belas; mereka semua dari Quraysh’: Dia berkata umat ini akan mempunyai dua belas Khalifah mereka adalah: Abu Bakr al-Siddiq, Umar al-Farooq, Utsman Dzull Noorain, Muawiyah dan anak-anaknya sebagai raja bagi tanah suci [Mekah dan Madina], al-Saffah, Salam, Mansour, Jabir, al-Mahdi, al-Ameen, Ameer al-Asab, mereka adalah dari Banu Ka’b ibn Luayy, dan mereka adalah yang benar dan terkemuka. [2]

Maka bacalah lagi fakta ini, dan bayangkan ahli fiqh yang pemahaman seperti itu, yang sangat dihormati oleh ‘ahl-sunnah wal-jamaah’ dan lihatlah bagaimana dia telah manjadikan Muawiyah dan anaknya Yazid dan begitu juga al-Saffah [panggilan yang bermakna penumpah darah] menjadi hamba-hamba Allah yang terbaik, dan dengan menambahkannya sebagai terulung! Sesungguhnya dengki dan kejahilan telah membutakan pandangannya sebagaimana iri hati dan permusuhan telah membutakan mata hatinya [3] sehingga ketahap bahwa dia tidak dapat melihat satupun kemuliaan dan kebaikkan pada Amirul Mukminin Ali KW , dan malah lebih mengutamakan Muawiyah, seorang yang tidak bermoral, dan anaknya yang tiada beragama, penjahat dan orang yang haus darah, Yazid bin Muawiyah.

Dan kini kita lihat anak Umar ibn al-Khattab [Abdullah ibn Umar] dengan dengki dan bencinya, walaupun Ali telah berkedudukan Khalifah setelah Utsman dibunuh dan sesudah menerima sumpah setia dari Muhajirun dan Ansar, tapi Abdullah bin Umar tetap enggan untuk memberi bai’at kepada Imam Ali KW dan malah mencoba sekuat tenaga membangkitkan semangat masyarakat untuk menentang beliau dan berkehendak untuk dapat menjatuhkan Beliau AS.

Abdullah ibn Umar berkhidmat kepada dinasti Umayyah dan memahkotakan keduanya (Muawiyah dan anaknya Yazid) dengan mahkota Khalifah, membuat dusta dan perubahan terhadap sunnah Rasul, mengiktiraf Khalifah al-Saffah dan al-Mansour dan kesemuanya pemerintah dari Bani Umaiyyah, mengutamakan mereka diatas Pemimpin bagi umat Muslim dan wali bagi mereka yang beriman menurut teks Quran yang suci dan juga Sunnah Rasululloh SAW.

Jadi Khulafaur Rashidun yang 4 itu dipopulerkan dizaman Imam Ahmad bin Hambal, jelas-jelas buatan manusia dan pada awalnya Imam Ali KW tidak termasuk didalamnya, semacam inillah pahaman yang menjadi pegangan Ahl-Sunnah wal Jama’ah, untuk menentukan siapa Khulafaur Rasyidin harus menunggu Ratusan Tahun, Tidakah mereka membaca al-Qur’an sehingga mereka tidak mampu melihat siapa saja Khulafaur Rasyidin menurut frame yang ditentukan oleh al-Qur’an .

Atau apakah kita harus mengucapkan selamat tinggal kepada kebenaran ?


1. Al-Hajjaj ibn yusuf al-Tsaqafi adalah seorang yang sangat terkenal dengan kecabulannya, fasik, jenayah dan tidak beriman. Al-Hakim telah mencatat dalam Al-Mustradak hal 556, jilid 3, dan Ibn Asakir telah juga mencatatnya pada halaman 69 jilid 4 dari bukunya, bahwa sebenarnya al-Hajjaj pernah berkata: ‘Ibn Mas’ud mengaku bahwa dia membaca Qur’an yang diwahyukan oleh Allah, dan Allah tidak lebih dari kotoran bagi Arab.’ Dia juga pernah mengatakan: ‘Takutlah kepada Allah sebanyak mana yang kamu mahu, karena dengan melakukannya adalah sia-sia, dan dengarlah serta taatlah kepada Amirul Mukminin Abd al-Malik ibn Marwan karena kamu akan mendapat ganjaran yang berlimpah ruah.’ Juga Ibn Aqeel mencatat pada halaman 81 dari bukunya Al-Nasaih al-Kafiya berkata bahwa al-Hajjaj berkata di Kufah ketika menanggapi mereka yang menziarahi Pusara Rasul di Madina dengan berkata: ‘Semoga mereka binasa! Mereka berkeliling pada kayu dan jasad yang hancur; mengapa mereka tidak berkeliling pada istana Amirul Mukminin Abd al-Malik? Tidakkah mereka ketahui bahwa pengganti seseorang adalah lebih baik dari pengkhabarannya?’

2. Ini telah dinyatakan pada oleh al-Suyuti Tarikh al-Khulafa, halaman 140 Kanzul-Umal jilid 6 hal 67, dan juga didalam buku sejarah Ibn Asakir dan adz-Dhahabi.

3. Bacalah dan jangan lupakan pernyataan Baginda Rasul dalam al-Bukhari wa Muslim yang berbunyi: ‘Mencintai Ali ibn Abu Thalib adalah pertanda iman, dan membencinya adalah pertanda munafik,’ dan para munafik semasa zaman Rasul SAW dikenali dengan kebencianya terhadap Ali [as]

Fikirkanlah wahai kaum yang berakal...(yg tiada kemampuan membaca sumber primer, sila dapatkan tunjuk ajar dari sesiapa yg tahu bukan mentaqlid buta semata-mata)

Tuesday, December 22

Balasan ke atas pembunuh Hussein AS


Ditengah kerumunan Pesta pembakaran Kemah Karbala, Umar Bin Saad (LA) berteriak dengan lantang, "Siapa yang mau menjadi sukarelawan untuk menginjak-injak jasad Al-Husain dengan kaki kudanya ?"

Lalu segera sepuluh orang maju menyatakan kesediaan mereka. Mereka adalah:

1. Ishaq bin Haubah yang juga merampas baju Al-Husain.
2. Akhnas bin Mirtsad.
3. Hakim bin Thufail Al-Sabi'i
4. 'Amr bin Shabih Al-Shaidawi
5. Raja' bin Munqidz Al-'Abdi
6. Salim bin Khaitsamah Al-Ja'fi
7. Shaleh bin Wahb Al-Ja'fi
8. Wahidh bin Ghanim
9. Hani bin Tsubait Al-Hadhrami
10. Usaid bin Malik

Kesepuluh Manusia Durjana itu maju dan memijak-mijak jasad Al-Husain as. Dengan kaki kuda mereka hingga dada dan punggung Cucu Nabi Saww itu hancur.. (Ya Husseinna..…Ya Husseinna..…Ya Syahidda....)

Diselingi gelak tawa dan tanpa rasa takut mereka terus melakukan perbuatan kejinya..

Hingga ketika mereka sampai di Kuffah, kesepuluh manusia hina itu datang menghadap Ubaidillah bin Ziyad. Usaid bin Malik, salah seorang dari mereka, berkata:

"Kamilah yang menghancurkan dada dan punggungnya..Dengan kuda yang lincah dan bertali kekang kuat"

Kepada mereka Ibnu Ziyad bertanya, "Siapakah kalian?"

Dengan bangga mereka menjawab, "Kami adalah orang-orang yang menginjak-injak jasad Al-Husain dengan kuda kami. Kami telah berhasil melumatkan punggung dan dadanya."

Ubaidillah bin Ziyad sangat puas mendengar jawapan itu. Beliau lalu memerintahkan untuk memberi mereka sedikit hadiah.

Seorang Tabi'in Abu Umar Al-Zahid berkata, "Setelah kami meneliti, ternyata kesepuluh orang tersebut adalah anak hasil zina."

Manusia-manusia hina yang telah melakukan kekejian pada cucu yang dikasih Nabi al Husein As pun di akhir hayatnya diperlakukan secara sama oleh Mukhtar yang membalas dendam kepada mereka yang terlibat dalam membunuh Hussein, sehinggalah akhirnya Mukhtar berhasil menangkap mereka semua. Setelah mengikat mereka dengan rantai besi, ia memerintahkan pasukan berkudanya untuk menginjak-injak dan melumatkan punggung mereka. Mereka semua mati dengan cara demikian.

Atha' bin Abi Rabbah, seorang tabi'in juga berkata: Aku pernah bertemu dengan seorang buta yang ikut menyaksikan pembantaian terhadap Al-Husain as. Kepadanya aku bertanya perihal penyebab kebutaannya.

Dia menjawab, "Aku menyaksikan pembantaian itu dari dekat. Bahkan aku termasuk salah satu dari kesepuluh orang tersebut. Hanya saja aku tidak ikut terlibat dalam memukul atau melempar sesuatu kepada Al-Husain. Setelah beliau terbunuh, aku pulang ke rumahku, lalu melaksanakan salat Isya' dan kemudian tidur. Tiba-tiba aku melihat ada seorang yang datang kepadaku dan mengatakan, "Jawablah pertanyaan Rasulullah !"

Kukatakan, "Ada apa sehingga aku mesti pergi menemui beliau ?"

Tanpa menjawab, ia memegangku dengan kuat dan menyeretku. Aku melihat Nabi saww. duduk di padang sahara. Kegelisahan tampak jelas pada raut wajahnya. Beliau bertopang dagu pada kedua tangannya. Sebuah senjata kecil ada di tangan beliau. Di sebelah Rasulullah saww., kulihat ada seorang malaikat yang berdiri tegak dengan menghunus pedang yang terbuat dari api. Sembilan orang temanku telah lebih dahulu tewas di tangannya. Setiap ia memukulkan pedangnya, api segera tersembur darinya dan memanggang tubuh mereka.

Aku mendekat ke tempat beliau berada dan bersimpuh di hadapannya. Aku sapa beliau, "Assalamu 'alaika, ya Rasulullah." Tak kudengar jawaban beliau. Lama beliau berdiam diri. Kemudian sambil mengangkat wajahnya, beliau bersabda, "Hai musuh Allah, kau telah menginjak-injak kehormatanku, membantai keluargaku dan tidak mengindahkan hakku sama sekali. Bukankah demikian ?"

Jawabku, "Ya Rasulullah, demi Allah, aku tidak ikut andil dalam memukulkan pedang, menusukkan tombak atau melemparkan anak panah sama sekali."

"Benar," jawab beliau. "Tapi bukankah kau telah ikut dalam menambah jumlah mereka ? Mendekatlah kemari !"

Aku mendekat. Beliau menunjukkan kepadaku sebuah bejana yang dipenuhi darah seraya bersabda, "Ini adalah darah cucu kesayanganku Al-Husain."

Lalu beliau memoles mataku dengan darah itu. Ketika terjaga dari tidurku, mataku menjadi buta sampai sekarang."

Balasan Akhirat Lebih Pedih..!!


Diriwayatkan dari Imam Ja'far As Shadiq as dari Ayahnya dari kakek kakeknya yang suci dari Baginda Rasulillah Saww yang bersabda :

"Di hari kiamat kelak, Allah akan membangunkan sebuah kubah yang terbuat dari cahaya untuk Fatimah. Lalu Al-Husain akan datang dengan kepala di tangannya. Saat menyaksikan hal itu, Fatimah menjerit histeris hingga tak ada satupun malaikat maupun nabi kecuali ikut larut dalam tangisan menyertainya. Maka Allah menampakkannya di depan Fatimah dalam sebaik-baik rupa. Kemudian Al-Husain as. menyerang para pembunuhnya tanpa kepala. Setelah itu Allah menghadapkan kepadaku semua orang yang ikut andil dalam membantai dan mencincangnya untuk kubunuh semuanya. Lalu mereka dihidupkan kembali untuk dibunuh oleh Amirul Mukminin Ali. Setelah itu mereka dibangkitkan lagi. Kini giliran Al-Hasan membantai mereka. Mereka hidup lagi. Al-Husain membunuh mereka semua. Kemudian mereka dihidupkan lagi. Lalu satu persatu keturunanku membunuh mereka semua. Saat itulah, kemarahan dan dendam yang lama terpendam tersalurkan dan semua derita dapat dilupakan."

Kemudian Imam Ja'far Shadiq as. berkata, "Semoga Allah merahmati syiah kita. Demi Allah, mereka adalah orang-orang Mukmin sejati. Mereka ikut menyertai kita dalam musibah dengan kesedihan dan derita mereka yang berkepanjangan."

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Di hari kimat kelak, Fatimah datang diiringi oleh sekelompok wanita. Terdengar suara yang mempersilahkannya untuk masuk surga. Ia menolak dan berkata, "Aku tidak akan masuk sebelum tahu apa yang diperbuat umat terhadap anakku."

Terdengar suara, "Lihatlah ke tengah-tenah padang Mahsyar !" Fatimah as. melihat Al-Husain as. berdiri tegak tanpa kepala. Ia menjerit histeris menyaksikan keadaan anaknya. Akupun ikut menjerit mendengar jeritannya. Demikian juga para malaikat."

Dalam riwayat lain disebutkan: Fatimah meratap dan mengatakan, "Oh anakku! Oh buah hatiku!" Beliau meneruskan, Saat itulah Allah murka karena kemarahan Fatimah, lalu memerintahkan agar mereka semua dimasukkan ke dalam neraka yang disebut Habhab yang telah dinyalakan seribu tahun lamanya hingga berwarna hitam. Tak ada jalan bagi kesenangan untuk masuk ke dalamnya dan tak ada jalan bagi kesusahan untuk keluar darinya. Datang perintah dari Tuhan kepadanya, "Santaplah para pembunuh Al-Husain!" Neraka itupun segera melahap habis mereka. Setelah mereka berada di dalamnya, ia menggelegar diiringi oleh teriakan dan jeritan mereka.

Mereka lantas berseru, "Tuhan, mengapa Engkau menyiksa kami sebelum para penyembah berhala ?"

Datang jawaban dari Allah yang mengatakan, "Orang yang tahu tidak seperti orang yang tidak mengetahui."

Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Syaikh Ibnu Babuwaih dalam kitab 'Iqabu Al-A'mal

Wednesday, November 4

Around Uthman Murder

Whilst this article is primarily a refutation of Ansar’s article on Uthman, it shall also take the opportunity to address the common Nasibi accusations pertaining to the topic of the murder of Uthman. We shall refute such lies in by:

1. Refuting the baseless notion that a Jewish character namely Abdullah Ibn Saba and his followers were involved creating an atmosphere of agitation against Uthman that subsequently resulted in his murder.

2.Identifying those prominent Sahabah whose role in agitation against Uthman and then in his murder has been preserved in the annals of history.

Like his ancestors, the gist of Ansar.org’s author Abu Sulaiman is to absolve the Sahaba of any wrongdoing in the killing of Uthman. He has done his utmost to locate sources that protect the leading companions, for he knows too well that failure to do so, in effect raises serious questions on the Ahle Sunnah’s aqeedah on the justice of the Sahaba. Just like other Nasibi endeavors, this is yet another feeble attempt to protect specific corrupt companions and point the finger at other quarters in hope that he can convince his readers that the Shi’a are liars. Yet again Abu Sulaiman has used dishonesty, and yet again his lies shall be exposed.By the end of the article, readers will realise the ancestors of our opponents had themselves killed their caliph and yet up till today they insist he was an innocent oppressed victim. What is even more tragic is the fact that the murderers attributed the murder to an innocent party and unjustly waged war on them.

Chapter Two:

Refuting the defence card of Abdullah Ibn SabaThe role of some of the prominent Sahaba in the agitation and murder of Uthman has always acted as a thorn in the throats of our opponents that they neither could swallow nor spit. It acts as a wound, which has reappeared whenever our opponents have sought to apply a cure to it. Hence as a means of cure, they had to ‘invent’ some medication and after extensive sessions, they came up with a medicine known as ‘Abdullah Ibn Saba’ but since the ingredients of this medicine contained a large portion of fiction and lies, therefore the wound became further exposed. In order to save their future generations from the objections against those companions who led a prominent role in the murder of Uthman, the ancestors of our opponents invented the character Abdullah Ibn Saba and also fabricated various stories associating him with a campaign of incitement that led to the murder of Uthman. Having invented this mystery killer, they took the opportunity attribute this killing to their opponents [the Shi’a] by suggesting that their founding forefathers were Sabaies, the followers of Abdullah Ibn Saba. Some of the main points of such stories include the fact that: Abdullah Ibn Saba was a Jew who appeared during the reign of Uthman.



Ibn Saba misguided people by suggesting that Mawla Ali [as] was the successor of the Holy Prophet [s] and the preceding Caliphs usurped His [as] legal right. Ibn Saba started his activities in Kufa and Syria during the reign of Uthman. Later, he went to Egypt and prepared an army of rebels there. A great number of prominent Sahaba, like Ammar Yasir and Abu Dhar Ghafari went astray and became his students and they assisted the Sabaies in their activities against Uthman. The Sabaies that came from Egypt engulfed Madina and utlimately killed Uthman. During the wars of Jamal and Siffeen, both parties were close to agreeing a peace treaty but the Sabaies attacked both sides during the darkness of the night that caused the beginning of the war etc.In this chapter, we shall analyse the narrations and shall highlight the flaws that our opponents ancestors failed to consider whilst fabricating such stories. We shall also identify the personalities involved in this fabrication.

Sayf Ibn Umar – The fabricator of the storyIf one analyses the chains of narrations of all these fairy tales, you will notice that one name Sayf Ibn Umar is at the centre of such stories, whilst there are some narrations in this regard that don't even have any chains of narration. There are also some narrations about Abdullah Ibn Saba which are not transmitted through Sayf Ibn Umar, but these narrations do not mention the involvement of ‘Sabaies’ in the murder of Uthman rather they are only cite the existence of one such person and this is totally different from the fairy tale painted by Sayf Ibn Umar. There is an ijma (unanimous opinion) amongst the Ahle-Sunnah that the narrator Sayf Ibn Umar was a cursed person who narrated all types of lies. They have written all types of negative remarks about him that include Zandiq, Kadhab (liar) and untrustworthy and his traditions have no value and they all are weak. For example Imam of Salafies Al-Albaani declared him a liar (Silsila Sahiha, v3 p184) so did Mahmood Abu Raya (Adhwa ala alsunnah, p139).


Imam Ibn Abi Hatim (Al-Jarh wa al-Tadil, v4 p278), Imam al-Haythami (Majm'a al-Zawaed, v8, p98) and Shaykh Shu'aib al-Arnaout (Margin of Siar alam alnubala, v3 p27) declared him Matruk while Yahya Mukhtar al-Ghazawi said: ‘There is an agreement on him being Matruk’ (Foot note of Abdullah bin Uday’s book al-Kamil, v3 p435). Those who declared him weakare Imam Ibn Hajar (Taqrib al-Tahdib, v1 p408), Imam Yahya ibn Mueen (Tarikh Ibn Mueen, v1 p336), Imam Al-Nesai (Al-Du'afa, p187) and Al-Aqili (Al-Du'afa by Aqili, v2 p175) while he has been decalred as ‘Very weak’ by Al-Salehi al-Shami (Subul al-Huda wa al-Rashad, v11 p143).



Allamah Abu Naeem al-Asbahani said: ‘He is nothing’ (Al-Du'afa, by Abu Naeem, p91) and so did Imam Abu Daud (Sualat al-ajeri, v1 p214). Imam Ibn al-Jawzi said: ‘He is accused of fabricating hadith’ (Al-Mudu'at, by ibn al-Jawzi, v1 p222). Allamah Sibt Ibn al-Ejmi said: ‘He used to fabricate hadith’ (Al-Kashf al-Hathith, p131). Abdullah bin Uday said: ‘His narration is munkar’(Mezan al-Etidal, v2 p255). Al-Hakim said: ‘Sayf is accused of being a heretic. His narrations are abandoned.’ (Tarikh al-islam, v11 p161). Hassan bin Farhan al-Maliki said: ‘Fabricator’ (Naho Enqad al-Tarikh, p34). Al-Dhahabi says about him: "Sayf Ibn Umar wrote two books, which have been unanimously rejected by scholars”. (Al-Mughani fil Dhufa, page 292).It is interesting that although the Ulema of Ahle Sunnah rejected this narrator and his two books that contained all sorts of stories regarding the role of Sabiees (or Shias) in the agitation and murder of Uthman, the Ulema of Ahle Sunnah have taken some stories from it and have included it in their books with then intention that they may act as a veil over the roles of certain prominent Sahabah that acted in the murder of Uthman.

The murder of the Sahaba Malik bin Nuwayrah followed by the raping of his wife by Khalid bin WalidThose who have some interest in Islamic history would be aware of the shocking incident that took place during the reign of Abu Bakr, wherein Khalid bin Walid murdered a companion Malik bin Nuwayrah and then that very night, raped Malik’s wife. One of the chains of narrations that mention this incident includes Sayf Ibn Umar and when this incident is quoted, the Nawasib abruptly scream and begin to unfold the weaknesses of Sayf Ibn Umar as a narrator. Curiously when it comes to the topic of Sabaies or Shias, the very narrator becomes the darling of deceitful Nawasib. But we should point out the the atrocities committed by the thug namely Khalid bin Walid can still be proven from narrations free of Sayf!

The traditions free of Sayf Ibn UmarAs we stated earlier, there are approximately 14 narrations wherein the name of Abdullah Ibn Saba appears, yet these traditions are narrated independent of Sayf Ibn Umar al-Kadhab. But our readers need to understand that these traditions are entirely different from the fairy tales reported by Sayf Ibn Umar as they do not mention any role of Sabaies or of Shias in the assassination of Uthman, rather they only tell us that there existed a person with the name of Abdullah Ibn Saba who appeared during the reign of Ali bin Abi Talib [as] i.e. years after the murder of Uthman, he claimed that Ali bin Abi Talib [as] was god (naudobillah) and because of this Mawla Ali [as] burnt him alive.Among the Ahle-Sunnah historians, there was only one, namely Ibn Asakir who collected some reports about Ibn Saba whilst their chains of narrations do not include Sayf Ibn Umar.
It isimportant to note that this historian belongs to 6th century whilst Abdullah Ibn Saba appeared in the earlier part of the 1st century. We appeal to just people to consider the fact that if there was indeed a man as prominent as Abdullah Ibn Saba who: commanded the loyalty of thousands of followers, has prominent Sahaba amongst his followerslead a mass movement against the caliph of the time Uthman that subsequently resulted in his assassination later on killed of thousands of Muslims during wars of Jamal and SiffeenWould there be only one historian and that too of 6th century to have written the details about him? From the 1st century until the 5th century, there existed thousands of Sunni Muhadditheen such as Bukhari and Muslim, Fuqaha such as Abu Hanifa and Imam Malik, Ulama and historians. Why is it that thet none of them wrote a SINGLE word about Abdullah Ibn Saba?


Why were Abu Hanifa, Imam Malik, Imam Shafiyee and Ahmad bin Hanbal and hundreds of more like them were unaware of the existence of thousands of Sabaies, their dissension in Syria, Kufa and Egypt and their role in the murder of Uthman? Why didn't they written even a SINGLE word about them? Ths Sunni / Shia schism had developed into distinct schools very quickly. The Sunni state was seeking its utmost to propogate the Sunni madhab amongst the masses, and encouraged hatred towards the Shi’a. By this time the doctrine of the three rightly guided khalifas had been engrained ito Sunni deaology and was a part of faith, so that those that rejected them were deemed rafidah (rejectors). What better opportunity would there have been than to propogate amongst the masses the belief that the Shi’a madhab was founded by a Jew called Ibn Saba whose lies and Fitnah they embraced, that lead to them killing the third rightly guided khalifa.

Would the Sunni state have allowed such an opportunity go by, if this was indeed true? If we know anything about politics we know how dirty it is, with politicians inciting smear campaigns against their political rivals, on whatever flimy evidence they can find. Could there be any better smear campaign than one that attributed the orgins of a major Sect that rejected the doctrine of man made Caliphate, to a Fitnah mongering Jew? If such evidence existed, even in its weakest manner the State would have ensured that its Imams and historians cascaded such teachings to the masses. The very fact that they did not proves that this fairytale was not prominent in any shape or form during the fitsy five centuries of Sunni state rule.

It is worthy to note that the reports that were collected by this 6th century historian Ibn Asakir also do not prove the propaganda of our opponents, suggesting that the Sabaies/Shias killed Uthman and they cannot establish the building of whole fairy tale on the foundation of these reports. In order to read all these traditions recorded by Ibn Asakir that are free from Sayf Ibn Umar, one can read his book Tarikh Madinatul Damishq, Volume 29, pages 3-10. Please also note that Ibn Asakir has also quoted heavily the fairy tales from Sayf Ibn Umar. Ibn Hajar Asqalani has quoted these traditions by Ibn Asakir in his book Lisan-ul-Mizan, vol. 3, page 239, along with his comments.